Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Kos, Motor, dan Laptop

Posting Komentar

Karena aku akan berkuliah di kota yang berjarak 4 jam perjalanan dari rumah, maka aku harus mencari kos. Setelah sebelumnya selalu bersama teman-teman dalam rangka pendaftaran kuliah hingga daftar ulang, kali ini aku mencari kos dengan mama.

Sungguh sebuah keberuntungan dan tidak ada kesulitan yang berarti waktu kami mencari kos. Aku mendapatkan kos yang sesuai dengan kriteriaku, yaitu dekat dengan kampus. Harganya sangat terjangkau pula. Bayangkan, di tahun 2010 kamar kosku hanya seharga 210 ribu per bulan. Jauh lebih murah dibandingkan rata-rata harga kos temanku waktu itu.


Kami mendapatkan kos tersebut saat pertama kali mencari dan langsung sreg. Padahal biasanya aku agak picky, apalagi untuk ukuran tempat tinggal selama kuliah. Langsunglah kami deal dengan pemilik kos. Meski saat itu perkuliahan baru dimulai sekitar 2 bulan lagi, tapi kami harus bayar sejak bulan itu juga agar kamarnya bisa di-keep atas namaku. Sepertinya saat itu bulan Juli, karena masuk kuliah dimulai bulan September.


Aku lupa apakah sekalian pas dapat kos itu aku langsung menginap atau kedatangan selanjutnya. Tapi yang jelas saat itu aku dan mama beli kasur lipat yang agak tebal untuk tempat tidur. Karena dia bisa dilipat kami bawa pakai motor saja lewat jalan belakang, bukan jalan raya. Lalu, di lain hari kami berjalan kaki menelusuri daerah di belakang kos. Hingga kini aku masih ingat rute yang kami lalui walau berkelok-kelok. Itu merupakan salah satu core memory-ku bersama mama.


Kos ini menurutku unik, seperti dibangun untuk aku. Intinya aku nyaman tinggal di sana. Selama hampir 5 tahun aku merantau, aku tidak pernah pindah kos. Aku memilih kamar di atas dan paling ujung, tapi menghadap ke jalan. Cocok dengan kehidupanku yang introvert. Orang-orang nggak bakal lalu lalang di depan kamarku kalau memang enggak mau ke kamarku. Ngerti kan?


Kost Tour

Mari kujelaskan denah kosku dari depan. Pertama, ada pintu masuk sekaligus merangkap pintu garasi. Ketika masuk, di bagian kanan kamu akan menemui ruang tv seukuran satu kamar. Tidak ada perabot, hanya ada tv yang tergantung di dinding. Setelah itu, ada lorong yang di kanan kirinya terdapat kamar. Di lorong itulah kami meletakkan motor secara berhimpitan. Jadi sudah sangat lumrah kalau lorong bagian depan tersebut sesak penuh oleh motor terutama di malam hari. Kalau sudah penuh, ruang tv bahkan bisa dijadikan garasi cadangan juga. 


Nah setelah bagian depan ini, ruangan dibatasi oleh level menurun ke bawah. Sebelumnya ada tangga menuju ke atas, yaitu ke bagian kamar-kamar lain termasuk kamarku. Ada 6 kamar di bagian atas.


Kembali ke level kedua, di bagian kirinya terdapat sekitar 3 kamar. Lalu di bagian kanannya cukup luas karena menjorok lebih lebar ada dapur yang berisi berbagai peralatan dan meja berbentuk L untuk meletakkan kompor-kompor. Dulu masih zaman kompor minyak tanah dengan merk Hook yang mengisi meja tersebut secara berjajar.


Pada awal kedatanganku, saat itu bulan puasa. Awalnya aku nggak menaruh kompor di dapur tapi di kamar. Setiap menyalakan kompor, aku membuka jendela karena asapnya mengganggu. Aku masih malas untuk turun ke bawah saat sahur. Padahal seringnya aku hanya membuat telur dadar untuk sahur, atau kadang memanaskan sedikit lauk. Maklum, waktu itu masih bocah. Pertama kali jauh dari orang tua yang sahurnya biasanya selalu disiapkan.


Di sebelah kiri bagian ujung ruang luas ini, terdapat deretan toilet. Toilet terpisah dengan kamar mandi. Aku lupa berapa jumlah persisnya, tapi kayaknya ada sekitar 4 buah toilet. Aku setia memakai hanya satu buah toilet, sebut saja toilet A. Aku selalu ke sana, kecuali mungkin ketika sangat kebelet dan toilet A sedang digunakan sehingga harus ke toilet yang lain. Itu pun sangat jarang. 


Ruangan kemudian turun level lagi cukup tinggi. Di sinilah kamar mandi dan tempat jemur berada. Kamar mandinya ada dua di bagian belakang kos. Terkadang dalam periode tertentu aku lebih suka mandi di kamar mandi A, lalu di periode lainnya yang cukup panjang, aku lebih suka mandi di kamar mandi B selama memang masih kosong. Aneh memang.


Meskipun kamar mandinya untuk bersama-sama, aku jarang menemui bahkan seingatku tidak pernah antri lama menunggu teman yang lain mandi. Slow aja. Di kostku tidak ada mesin cuci, sehingga selama kuliah aku mencuci dengan tangan. Tempat jemurnya langsung berada di luar kamar mandi dan menghadap ke sungai. Syukurnya di sekeliling ada pagar sehingga meski outdoor tapi tetap terjaga privasi.


Kemana-mana Jalan Kaki

Btw, kenapa prioritasku cari kos yang dekat kampus karena pada bulan-bulan pertama itu aku nggak bawa motor. Gedung fakultasku terletak di belakang kompleks universitas. Kosku tepat di belakang gedung tersebut, jadi jalan kaki masih cantik-cantik manja. Seiring waktu berjalan, ternyata perkuliahan dan praktikum juga dilakukan di laboratorium dan gedung farmasi yang berada di bagian depan universitas. Jaraknya lumayan jauh. Kalau nggak nebeng teman, ya aku jalan kaki. Untung ada teman senasib yang belum bawa motor juga waktu itu dan kos kami berdekatan.


Motorku dipakai adik karena tepat saat itu adikku ke sekolah di kota yang perlu pakai motor sendiri dari rumah. Ada sih motor jadul di rumah, tapi masih diperlukan orangtuaku untuk beraktivitas sehari-sehari sehingga aku mengalah untuk nggak pakai motor dulu sampai tiba waktunya orangtuaku mampu membeli.


Selama belum punya motor, pernah suatu kali aku jalan kaki agak jauh yaitu ke pasar. Sekitar lima kilometer kalau nggak salah jalannya. Lumayan juga. Tapi kayaknya dari dulu aku memang nggak masalah jalan jauh selama nggak ada pilihan lain. Waktu itu sepertinya aku beli sepatu, urgent gitu makanya bela-belain ke pasar jalan kaki.


Belum Punya Laptop

Selain nggak punya motor, di awal kuliah aku juga nggak punya laptop. Orang tuau belum punya cukup uang untuk membelinya. Ketika dapat tugas pertama bikin artikel dalam rangka orientasi mahasiswa baru, aku sekelompok dengan seorang teman yang kebetulan juga belum punya laptop. Dari kampus, kami jalan kaki untuk mengerjakan tugas tersebut ke warnet di belakang kosku. Pengalaman itu cukup berkesan bagiku. Pengalaman yang nggak akan kudapatkan seandainya aku langsung diberi kemudahan punya motor dan laptop di awal kuliah.


Aku lupa kapan tepatnya, tapi pada akhirnya aku beli lapotop. Masih di semester satu. Merk laptopku adalah Toshiba dengan ukuran 14 inci. Terlalu besar kalau dipikir-pikir untuk ukuran badan mungilku. Kemana-mana aku menanggung beban seberat itu. Sekarang saja laptopku hanya 11 inci. Laptop tersebut aku beli di toko komputer yang legend banget di dekat kosku. Kalau tidak salah ingat, harga laptop pertamaku itu sekitar 5 juta rupiah. []

Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar