Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Melepas Masa SMA

Posting Komentar

Tibalah hari pengumuman hasil SMUT. Saat itu upacara bendera hari Senin, guru yang menjadi pembina upacara mengucapkan selamat kepada siswa-siswa yang lulus tes SMUT. Berdasarkan bisik-bisik teman yang sudah mengetahui hasilnya, namaku termasuk di antaranya. Aku lupa berapa persis jumlah yang lulus, tapi sampai wisuda aku ingat pernah berjuang bersama dengan 2 orang lainnya karena kampus kami sama-sama di Banjarbaru. Sepertinya angkatanku yang lulus waktu itu juga ada yang masuk di kampus Unlam Banjarmasin.


Deg-degan Lolos di Pilihan Pertama

Saat aku mendengar namaku disebut-sebut masuk sebagai salah satu yang lolos tes, aku deg-degan. Bukan karena takut kalau kabarnya salah, tapi karena aku takut lolos di pilihan pertama. Ya, ada satu hal yang tidak aku ceritakan saat proses pendaftaran yaitu setiap siswa diperbolehkan memilih dua jurusan berbeda. 


Biologi merupakan pilihan keduaku, it means aku harus gugur di pilihan pertama terlebih dahulu baru bisa masuk ke biologi. Tebak aku pilih jurusan apa sebagai pilihan pertama? Salah satu jurusan di Fakultas Kedokteran. Berani sekali nggak sih?


Waktu memilihnya saja aku nggak seyakin biologi. Hanya lebih kepada ego, coba-coba dan prinsip nothing to lose aja. Kendalanya satu, masalah finansial. Aku tahu saat itu orang tuaku bukan yang punya dana pendidikan sebesar itu untuk masuk FK. Apalagi di tahun yang sama, adikku juga masuk ke sekolah menengah swasta yang biayanya lumayan untuk ukuran keluargaku.


Setelah sesi tes psikologi, aku dan para peserta tes SMUT yang mendaftar di jurusan tertentu termasuk FK mendapatkan satu lembar pernyataan kesediaan. Aku lupa penyebutannya apa, tapi secara umum lembar tersebut berisi pernyataan kesediaan menyumbang dana berapa rupiah jika nanti terpilih masuk FK. Aku masih ingat dengan jelas berapa angka rata-rata yang disebutkan di kertas tersebut. Bahkan hingga sekarang , aku merasa dana sejumlah itu masih besar. Aku menulis angka rata-rata tersebut dan yeah aku tidak lolos di FK.


Tetapi boleh jadi, itu juga karena hasil tesku tidak masuk kriteria untuk berada di sana. Who knows? Lagipula, meski secara keilmuan aku cocok di FK tapi secara profesi mungkin aku akan kewalahan. Lulusan FK rata-rata bekerja di bidang pelayanan yang langsung terjun ke masyarakat. Untuk introvert sepertiku, itu bukan zona nyaman. 


Ketika Internet Belum Berada di Genggaman

Pada tahun 2010, internet belum berada di genggaman seperti sekarang. Jadi, daftar siswa yang lolos SMUT waktu itu tidak kuketahui secara langsung. Sepertinya aku mengetahui daftarnya melalui teman-teman yang mempunyai akses internet lebih mudah karena punya komputer/laptop atau punya orang tua berprofesi sebagai guru. Di kemudian hari, aku baru tahu kalau pengumuman tes tersebut juga diumumkan di surat kabar. Aku melihat daftar nama yang lolos di sana.



Berbekal nama-nama tersebut, aku pergi ke warnet lalu berselancar di Facebook yang pada tahun itu aku baru mendaftar. Aku mengetik beberapa nama calon teman seangkatanku di biologi. Hanya dapat dua sesuai nama asli, sisanya tidak kutemukan. Tahu kan pada zaman awal kemunculan Facebook, nama-nama pengguna sedang ngetren sejenis ‘Ichayank Kamoe’, ‘Nadia Cute Bgtz’, ‘Sarie Kim Bum’.


SMUT 2010 BiologiAku lupa siapa yang mengirim pesan duluan, yang jelas kedua calon temanku ini fast response waktu chatting di Facebook Messenger. Intinya kami berkenalan karena sama-sama lulus di Jurusan Biologi dan janjian ketemu jika sudah tiba waktunya harus ke kampus. Padahal waktu itu masih sekitar 3 bulanan lagi baru masuk kuliah. 


Effortless

Bahkan ujian nasional saja belum. Iya, aku dinyatakan keterima di kampus duluan sebelum dinyatakan lulus SMA. Oleh karena itu, setelah hiruk pikuk pengumuman kelulusan SMUT, aku kembali memfokuskan diri belajar untuk mengikuti ujian nasional (UN). Pada saat itu, UN sungguh menjadi momok yang menakutkan bagi kami siswa kelas XII. 


Kebanyakan teman-temanku yang lain, selain bersiap menghadapi UN juga sibuk mempersiapkan diri untuk tes masuk perguruan tinggi. Bahkan beberapa orang yang sudah lulus SMUT pun masih ikut tes SNMPTN dan berbagai tes perguruan tinggi swasta, mungkin untuk memperbanyak opsi atau kurang sreg dengan pilihan jurusan di mana ia lolos.


Aku tidak tertarik untuk mencoba tes yang lain lagi. Sungguh minimalis, effortless, dan efisien sejak dulu. Oh wait, sebenarnya ada satu kampus yang membuatku tertarik untuk mendaftar ke sana. Di masa-masa menunggu pengumuman hasil UN, ada banyak kampus yang mempromosikan jurusan dan fakultas mereka ke sekolah-sekolah, salah satunya kampus ini. Dua hal yang membuatku tertarik pada promosi mereka adalah beasiswa dan FK. Salah satu temanku mendaftar ke sini dan sudah jadi dokter sekarang.


Mengapa pada akhirnya aku tidak mendaftar? Karena minimnya respon dari orang tuaku. Aku tahu keberatan mereka, yaitu karena lokasi kampusnya di luar pulau. Ya ya ya, boleh jadi bukan hanya orang tuaku, tapi mungkin aku juga belum siap sejauh itu untuk merantau.


Aku jadi teringat dengan masa pendaftaran SMA-ku dulu. Aku hampir masuk salah satu Islamic Boarding School a.k.a pesantren modern setelah lulus SMP, bahkan sudah visit ke asramanya. Tapi batal karena pertimbangan terlalu cepat meninggalkan rumah. Btw, aku daftar di tiga sekolah berbeda waktu SMA selain ponpes itu. Ketiganya mewakili sekolah agama, sekolah kejuruan, dan sekolah menengah biasa.


Masa Perpisahan

Akhirnya pengumuman hasil UN tiba. Alhamdulillah aku lulus. Ada dua seremonial besar yang kulalui setelah itu yaitu acara pengukuhan dan perpisahan. Bukan acara yang gimana-gimana, biasa aja bagiku waktu itu. Hanya sedikit senang karena akan memasuki fase baru dalam kehidupanku.


Ada satu momen yang cukup berkesan yaitu setelah acara pengukuhan kami sekelas pergi berwisata singkat ke tempat wisata paling populer dan jaraknya terhitung masih dekat dengan sekolah. Di sana kami berfoto-foto. Sebelum pulang, kami saling membubuhkan tanda tangan di seragam sekolah. In my case, seragam sekolahku sudah termasuk kurang layak dihibahkan sehingga aku terima-terima saja ketika ujung-ujung spidol menggores warna putihnya. 


Entah setelah acara pengukuhan atau perpisahan, aku ingat helm GM-ku hilang di parkiran. Itu sudah yang kedua kalinya. Aku lupa sekalinya kapan. Karena dua-duanya hitam polos simpel gitu modelnya, aku berpikir jadi gampang dicuri orang dan dimodifikasi menjauhi model aslinya. Setelah itu, aku beli helm masih dari brand GM tapi bercorak monster tengkorak berwarna hijau. Norak, tapi aku berasa lebih safety. Wkwk. Selama zaman kuliah, aku memakai helm ini. Bagi remaja saat itu, helm menjadi salah satu identitas dan harganya terhitung lumayan untuk kantong anak sekolah sepertiku. []

Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar