Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Pentingnya Wanita Berpolitik, Mendobrak Tantangan atau Menggenapi Kuota?

27 komentar

Pentingnya Wanita Berpolitik 

Pada suatu pagi yang cerah, ketenangan di salah satu sudut Desa Sungai Lembah dinodai oleh suara kicau sekelompok ibu-ibu. Lokasi tukang sayur yang sedang mampir dengan isi gerobak yang masih penuh menjadi sasaran empuk emak-emak sebagai tempat bercengkerama. 

“Eh katanya Bu Ana mau nyalon jadi kades ya?” Bu Anita membuka percakapan.

“Iya betul, saya juga dengar begitu,” sahut Bu Tina sambil memilih sayur di depannya. “Kacang panjangnya berapa satu ikat, Kang?” tanyanya pada Kang Maman, si pemilik gerobak.

Pentingnya Wanita Berpolitik

Kang Maman menjawab sekilas, tangannya cekatan membungkus beberapa jenis sayur yang sudah berhasil dipilih oleh seorang ibu.

“Wah, kok berani sekali sih?” timpal Bu Mala dengan wajah sinis.

“Berani kenapa, Bu?” tanya Bu Miya heran dengan ekspresi Bu Mala.

“Ya beranilah, dia itu perempuan. Calon lawannya kan laki-laki semua. Itu Pak Bambang, belum lagi Pak Adi yang petahana,” jawab Bu Mala tanpa menghentikan kegiatannya memilih sayur.

“Kali aja rezeki dia Bu, siapa tahu kan ya?” Bu Tina mencoba menengahi.



“Bukan gitu, Bu Ana itu harusnya tahu diri. Perempuan kan harusnya cuma ngurus rumah tangga, eh mau sok-sokan ngurus desa juga. Cukuplah itu diurus sama laki-laki,” ucap Bu Mala masih bersemangat.

“Ya nggak papa kali, Bu Mala. Bu Ana itu kalo nggak salah lulusan FISIP. Baguslah kalau dia ingin mengamalkan ilmunya ke kampung kita.” Kali ini Bu Miya yang urun suara sambil menyerahkan hasil pilihan sayurnya ke tangan ke Kang Maman.

Bu Mala diam sebentar, lalu berkata lagi, “Nanti anaknya nggak keurus, siapa itu nama anak bungsunya, kan masih balita gitu.”

Bu Anita mengangguk-angguk setuju, Bu Mala tampak puas.

“Menurut saya nggak ada hubungannya sih Bu.” Bu Tina berkata sambil menerima uang kembalian dari Kang Maman, “Kalau memang kompeten, masalah apapun pasti diusahakan solusinya.”

“Lagipula Bu Ana kan jago berbisnis, usahanya sudah sukses gitu. Itu membuktikan dia ahli dalam manajemen,” lanjut Bu Tina.

“Suaminya apa nggak merasa kalah nanti ya kalau Bu Ana jadi kades?” Bu Anita malah memperlebar obrolan. 

“Menurut saya, sebelum Bu Ana mencalonkan diri, ia pasti sudah minta persetujuan suaminya. Jadi harusnya nggak masalah,” Bu Miya menanggapi. Beberapa ibu menganggukkan kepala.

“Lagipula suami Bu Ana juga orang hebat, punya usaha sendiri yang cabangnya di mana-mana. Laki-laki nggak akan kalah hanya karena perempuan punya kekuasaan lebih tinggi di ranah publik. Bener nggak, Kang Maman?” timpal Bu Tina.

Kang Maman yang merupakan laki-laki seorang diri di sana, hanya bisa mengangguk, malas ikut obrolan para ibu-ibu. Yang penting sayurnya laku, begitu pikirnya.

“Entahlah, kalau Bu Ana maju jadi calon kades saya nggak mau milih dia.” Bu Mala masih keukeuh dengan pendiriannya.

“Ibu nggak ingin suara perempuan jadi prioritas dalam pengambilan kebijakan desa? Kan enak kalau pemimpinnya perempuan, suara para perempuan bisa terwakili,” kata Bu Miya sambil menerima uluran plastik dari Kang Maman dan membayar belanjaannya dengan uang pas.

 “Terwakili gimana?” tanya Bu Mala dengan raut wajah tak mengerti.

“Ya kebijakan-kebijakan yang pro perempuan jadi lebih mudah goal. Selama ini kan tidak banyak kebijakan atau program desa yang bisa dinikmati secara khusus oleh kaum perempuan,” jawab Bu Miya yang mulai menjauh dari kerumunan karena kegiatan belanjanya sudah selesai.

“Ya tapi kan nggak mesti jadi kades juga.” Kali ini Bu Anita yang bersuara.

“Itu Bu Risma, jadi walikota. Bu Susi, menteri. Bahkan Bu Mega pernah jadi presiden. Semuanya perempuan,” sanggah Bu Tina.

Hampir semua ibu-ibu di sana manggut-manggut dan memikirkan kedua argumen. 

“Kalau bukan perempuan, siapa lagi yang mau memperjuangkan kaum kita,” tutup Bu Miya. “Eh saya duluan ya,” katanya sambil menjauh dari kerumunan.

Kang Maman hanya bisa tersenyum mendengar potongan pembicaraan di lapaknya. Ia sudah biasa, mendengar beragam tema yang diusung oleh ibu-ibu pelanggannya. Kadang Kang Maman pikir, ibu-ibu ini hebat juga. Ngobrolin beragam hal, tapi aktivitas membeli sayur tidak terbengkalai.

Tantangan sebagai Perempuan

Perempuan itu istimewa, tapi tak jarang dianggap sebelah mata. Menjadi perempuan berarti harus siap dengan hidup penuh perjuangan dan pengorbanan di atas kepentingan diri semata.

Memilih atau Tak Mendapatkan Keduanya

Ada banyak perempuan yang memilih hidup di rumah saja agar bisa mengurus rumah tangga dengan baik, orang-orang mengatakannya tidak bekerja. Padahal pekerjaan sejak pagi hingga malam hari itu menghabiskan waktunya dan sering kali tak punya waktu untuk diri sendiri.

Ketika perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah, orang-orang menyebutnya bukan ibu yang baik. Tantangan sebagai perempuan yang utama adalah seolah perempuan harus memilih menjadi stay at home mom atau working mom

Berkarier dianggap menyalahi kodrat dan mengurus rumah tangga disebut menyia-nyiakan bakat.

Pernahkah laki-laki diberi pertanyaan, ingin menjadi pria berkarier sukses atau ayah yang baik? Tidak pernah, hanya wanita saja yang harus memilih. Seolah menjadi istri yang baik tidak bisa bersamaan menjadi pemimpin di ranah publik. Ya, bagi sebagian wanita sekadar membuat pilihan saja sudah sulit.

Pada akhirnya, tekanan dari luar tersebut membuat jiwa perempuan didera perasaan bersalah ketika menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Meski untuk kemaslahatan umat, meski izin suami sudah didapat. 

Penampilan adalah yang Utama

Tantangan selanjutnya menjadi wanita adalah standar kompetensi seolah tidak berlaku. Perempuan kerap hanya dinilai dari tampilan luar, bukan dari ketajaman nalar. Kebolehan perempuan dalam berdandan dianggap lebih hebat daripada keahlian. Padahal tingkat intelegensi seorang wanita boleh diadu dengan pria, bahkan jika disatukan dapat membentuk kombinasi terbaik dalam jajaran pemerintahan.

Stereotif tentang Wanita

Sebagian besar masyarakat masih  menganggap wanita sebagai kaum yang lemah, tidak mampu berkerja keras, serta tidak sanggup memimpin banyak orang. Padahal fakta menunjukkan, cukup banyak perempuan yang duduk di kursi pemerintahan telah berhasil membuktikan bahwa mereka sanggup mengukir prestasi. 

Rumah adalah contoh kecil wilayah kekuasaan wanita yang mampu dipimpinnya dengan baik. Diperlukan kecerdasan fisik dan emosi untuk mengatur rumah dari pagi hingga pagi lagi.

Belum diprioritaskannya perempuan ikut dalam politik praktis menunjukkan hambatan tak terlihat untuk para perempuan. Peran domestik dinilai lebih utama bagi perempuan sehingga minat dan bakat untuk ikut terjun dalam politik terpaksa dikesampingkan.

Peran bukan sebagai penghasil nafkah utama juga menjadi tantangan lain terjunnya wanita dalam politik. Padahal politik bukan hanya sebagai tempat memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga penyaluran eksistensi dan perluasan jejaring sosial. Politik sendiri dapat memberdayakan perempuan dengan segala potensinya. 
 

Bertarung dengan Laki-laki

Sukses berkorelasi positif untuk laki-laki, tapi sering dianggap sebagai pemicu hal negatif untuk perempuan. Pria sukses mudah untuk disukai, sedang wanita sukses sering dihindari. Jika laki-laki dipromosikan berdasarkan potensi, maka wanita diberi penghargaan karena bukti. 

Perbedaan antara Perempuan dan Laki-laki

Perempuan sudah terbiasa bekerja lebih keras daripada pria, tapi sering tak dianggap dengan bangga. Perempuan hadir di belakang para laki-laki tangguh yang muncul di permukaan. Tanpa dukungan fisik dan moral wanita, laki-laki hanyalah patung dingin tak bernama.

Dunia politik yang didominasi laki-laki dianggap terlarang bagi perempuan untuk masuk di dalamnya. Tak banyak yang menyadari pentingnya wanita berpolitik. Budaya patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi tantangan yang harus dijebol oleh politisi perempuan. 

Ada banyak pintu yang mudah dibuka oleh laki-laki, tapi pintu tersebut mungkin harus diketuk atau bahkan didobrak oleh perempuan. 

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme adalah tradisi yang diwariskan turun-temurun hingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Paradigma patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. 

Praktik politik patriarki ini tumbuh subur karena tanggapan permisif bahkan oleh perempuan itu sendiri. Perempuan dianggap sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi di banyak bidang, termasuk politik. Akibatnya, wanita dan politik dianggap bukan merupakan kombinasi yang presisi.

Gema Suara Perempuan di Panggung Politik

Angin segar datang dalam bentuk beberapa aturan yang mewajibkan kehadiran wanita dalam komposisi pemerintahan. Beberapa aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni:
a. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
b. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
c. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
d. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD 

Meski representasi perempuan dalam politik sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai kebijakan, tapi hasilnya masih kurang dari yang diharapkan. Secara kuantitas, keterwakilan perempuan dalam kursi DPR belum sampai 30%. Meski angkanya kian naik setiap tahun, tapi belum memenuhi persentase minimal yang disarankan.

Jumlah Perempuan di DPR

Suara para politisi perempuan masih tenggelam oleh hingar bingar perdebatan politisi yang cenderung patriarki. Bola panas yang bergelinding di panggung rapat lebih didominasi oleh hoaks, politik agama, atau korupsi. Hanya sedikit waktu yang dihabiskan untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan sejenisnya. 

Keberadaan perempuan di kursi pemerintahan tidak bermaksud mengancam dominasi laki-laki, tetapi untuk keseimbangan peran. Keterwakilan perempuan tidak sekadar cara untuk penuhi kuota, namun untuk menghasilkan kebijakan perempuan yang bergema. 

Indonesia membutuhkan lebih banyak suara politisi perempuan yang lahir dari berbagai kalangan untuk memastikan keterwakilan perempuan agar jumlahnya signifikan. Indonesia juga membutuhkan kebudayaan politik baru yang tidak seksis dan mendengarkan suara perempuan sama pentingnya dengan suara laki-laki.

Peluang untuk berkarya telah dibuka, kesempatan untuk ikut aktif dalam berpolitik juga telah ada. Para perempuan yang memiliki minat dan bakat di sana harus mengambilnya. Jangan sampai terjadi pembenaran terhadap tuduhan pemberian kuota hanya sekadar belas kasihan para pria. Ini saatnya untuk membuktikan bahwa perempuan mampu berprestasi di luar rumah. Para perempuan harus ikut andil dalam memproduksi kebijakan yang pro perempuan.

Apalagi di era digital seperti sekarang, mudah untuk belajar dan berkarya bahkan dari rumah sendiri. Peningkatan kompetensi dan integritas diri perempuan mutlak dilakukan. Perempuan harus terus mengasah kemampuan di berbagai bidang sehingga pada saatnya berjuang, semua sudah siap diaplikasikan. Perempuan harus terwakili, karena perempuan juga memiliki potensi yang besar untuk berdaya. 

Suara perempuan tidak lagi hanya berupa gema dalam panggung politik, tapi juga bisa menjadi suara utama yang harus didengar oleh semua orang. 

Mengapa Wanita Harus Masuk dalam Dunia Politik?

Seperti yang kita baca pada potongan cerita di atas, para perempuan sendiri belum banyak yang sadar pentingnya wanita berpolitik. Padahal, seperti kata Bu Miya, keterwakilan suara perempuan itu penting dalam pemerintahan. Setidaknya ada empat alasan mengapa wanita harus masuk dalam dunia politik, yaitu:

Untuk Mengimbangi Jumlah Laki-Laki

Kehadiran wanita dalam kursi pemerintahan sama sekali bukan untuk menggeser atau mengalahkan peran laki-laki. Jumlah kuantitas keikutsertaan perempuan maksimal hanya 30% di kursi DPR, tidak lebih. Tapi catat, perempuan bukan hanya pelengkap. Keberadaan perempuan dalam setiap bidang kegiatan, termasuk politik, adalah salah satu cara penerapan keadilan dan kesempatan yang sama untuk semua gender. Peran perempuan dalam politik adaah salah satu bentuk pemenuhan hak asasi manusia setiap orang. 

Untuk Membawa Aspirasi Perempuan

Penting untuk membawa aspirasi para perempuan yang ada di masyarakat. Dari total seluruh jumlah penduduk Indonesia, bisa dipastikan 50% di antaranya adalah perempuan. Siapa yang bisa menyuarakan kebutuhan-kebutuhan setengah dari jumlah penduduk ini dengan baik jika bukan perempuan itu sendiri? 

Bahkan dalam sejarah di antara para pejuang laki-laki, terdapat tokoh-tokoh perempuan yang berjuang agar wanita diberikan kesempatan yang sama dengan para pria. Sebutlah para pionir pemikir dan penggerak ini seperti Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika. Mereka membawa aspirasi perempuan ke ranah publik pada zamannya.

Selama ini, isu yang diangkat dalam panggung politik lebih didominasi oleh masalah publik yang jarang menyentuh kepentingan kaum perempuan.  Akibatnya, tak banyak kebijakan yang bisa dinikmati oleh banyak perempuan padahal dibutuhkan. Misal kenaikan harga bahan pokok, listrik, hingga bahan bakar. Hanya para wanita yang tahu bagaimana rasanya pontang-panting mengatur ulang budget rumah tangga akibat kenaikan harga tersebut.

Di sisi lain, kebijakan menyangkut perempuan jika tidak melibatkan perempuan itu sendiri maka yang muncul hanyalah peraturan yang kurang relevan dengan kondisi di lapangan. Sebutlah soal perlindungan anak, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami. Laki-laki mungkin akan kurang paham betapa kompleksnya permasalahan tersebut dari sisi perempuan.

Kehadiran perempuan di dunia pemerintahan menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah bagi kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di dewan dalam jumlah yang ideal, aspirasi perempuan akan sulit mengudara.

Untuk Peningkatan Kualitas Keputusan

Bukan tanpa alasan dalam Undang-undang No 2 Tahun 2008 keterwakilan perempuan diminta sebanyak 30% dalam sebuah partai politik. Juga dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa daftar calon yang diajukan partai politik harus berisi 30% perempuan dan menempatkan minimal 1 perempuan dalam setiap 3 nama calon legislatif. 

Angka tersebut berdasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah keterlibatan perempuan minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

Potensi Perempuan Tidak Kalah dengan Laki-laki

Dalam segala lini kehidupan, perempuan adalah sosok yang tangguh dan multi peran. Perempuan punya kelebihannya sendiri yang tak dipunyai laki-laki. Perempuan lebih teliti, tangguh, sabar, serta mampu mempertimbangkan akal dan perasaan sekaligus dalam pengambilan keputusan. Potensi tersebut tentu sangat dibutuhkan dalam dunia politik. Bersama laki-laki, para wanita berbakat ini dapat diamanahi untuk memegang persoalan bangsa.

Dari Perempuan untuk Perempuan

Sebagian besar pelaku bullying di Indonesia adalah wanita dan sebagian besar di antaranya memilih wanita lain untuk di-bully. Ini disebut dengan Queen Bee Syndrom. Hei, apa yang salah dengan para wanita? Mereka tak ingin dicela, sedang mereka sendiri mencela sesama.

Masih ingat dengan Bu Mala pada cerita di atas? Kurang lebih seperti itulah karakter perundung perempuan untuk perempuan. Padahal sebagai sesama perempuan, harusnya kita bisa bergandengan tangan untuk membentuk lingkaran positif agar bisa sama-sama maju. Besarnya jumlah pemilih aktif perempuan harusnya dapat mendudukkan lebih banyak perempuan di kursi pemerintahan. 

Ingat kembali dengan tantangan-tantangan menjadi perempuan di atas. Semakin kompleks kondisi seorang wanita, semakin tidak merdeka ia dalam memilih hidup yang diinginkannya. Tugas perempuan yang memiliki lebih banyak kemerdekaan adalah memotivasi dan membantu perempuan lain yang tak punya kesempatan yang sama. 

Saya dan kamu yang membaca tulisan ini mungkin adalah para wanita yang punya cukup ruang untuk berkarya dan mengekspresikan suara. Kita bisa berbuat sesuai kemampuan untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Jika punya kesempatan maju ke ranah politik, mengapa tidak? Ada banyak pintu yang harus dibuka di luar sana.
 
Mari kita mulai dari diri sendiri. Tidak ada yang benar-benar tahu kekuatan seorang perempuan, selain perempuan itu sendiri. Cari tahu kekuatan dan kekurangan diri, paham apa yang akan diperjuangkan. Mereka yang sibuk dengan diri sendiri akan tak punya waktu untuk menilai (baca: mencela) orang lain.

Pandang komunitas perempuan sebagai ajang untuk berkolaborasi, bukan sarana berkompetisi. Seperti komunitas Female Blogger of Banjarmasin yang setiap bulannya mengadakan program FBB Kolaborasi.

 

Apresiasi pencapaian teman perempuan kita, karena kita pasti tahu bagaimana rasanya berhasil tanpa iringan tepuk tangan.

Pentingnya wanita berpolitik harus menjadi kesadaran bersama. Menjadi ibu rumah tangga sekaligus berkarya di luar rumah tidak akan membuat kita rendah. Kita hanya perlu saling menguatkan. Jika perempuan ikut berdaya maka dunia akan merasakan perubahan yang benar-benar nyata. []

Sumber:

https://mediaindonesia.com/read/detail/294046-perempuan-politik-sebagai-aset-bangsa
https://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/perempuan-harus-berpolitik-dan-turut-mengambil-kebijakan.html
https://news.detik.com/kolom/d-4174432/keterwakilan-perempuan-dalam-politik
Siaran Mata Najwa, Episode Mengapa Perempuan Harus Memilih
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

27 komentar

  1. Setuju, perempuan itu bekerja dari pagi ke pagi, tapi tetap saja dianggap tidak bekerja, gemes banget deh sama situasi ini >.<

    Setuju juga sama Queen Bee Syndrome, bikin gemes juga itu :(

    BalasHapus
  2. Sesama perempuan harus saling menguatkan. Setuju banget. Sudah saatnya perempuan maju😍 Salah Satu cara lewat jalur politik

    BalasHapus
  3. Yup kedudukan perempuan dan laki-laki dibidang politik setara. Perempuan harus mau berpolitik agar suaranya semakin di dengar oleh pemangku kepentingan dan masyarakat.

    BalasHapus
  4. Topik gibah buibu di berbagai daerah hampir sama ya, hahaha. Termasuk dalam kisah fiksi. Perempuan masuk dunia politik saya rasa ga ada salahnya. Kita yg ga mampu seperti mereka, ga punya keberanian seperti mereka mbok ya ga usah nyinyirin

    BalasHapus
  5. Budaya patriarki masih mengakar begitu kuat di tempat ku bekerja, dimana potensi perempuan dipandang sebelah mata. Suka kesel kadang tp ya dibodoamatin ajalah..

    BalasHapus
  6. Bener buangeett Mba.
    Perempuan memang KUDU melek politik.
    karena politik ini kan nantinya bisa saling berkelindan dgn banyak hal yg urgent di kehidupan kita.

    BalasHapus
  7. harusnya gak perlu lihat gender ya, melainkan lihat kapasitasnya, track recordnya
    kalau begini kan terasa lebih adil

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. tulisannya keren banget, rindang. memang kayaknya nggak banyak ya perempuan yang berani terjun ke dunia politik. harapanku sih kalau perempuan terjun ke dunia politik dia benar-benar paham dengan bidang yang diembannya

      Hapus
  9. Tulisan mbak rindang keren banget, lengkap kap kap :D

    Semoga semakin banyaknya perempuan melek politik semakin banyak dapat mengisi kursi pemerintahan dan mampu menyalurkan pendapatan para perempuan Indonesia

    BalasHapus
  10. Aku suka kalo mereka yang mengerti dan saling support perempuan tanpa harus berkomentar. Apalgi nih yaa kalo gosip sama mulut tetangga duh pedas melebihi cabe. Kalo bahas perempuan berpolitik duh berabe deh

    BalasHapus
  11. kadang suka sedih ya sama kenyataan kalau yang menentang itu malah kaum perempuan itu sendiri.

    BalasHapus
  12. Saya ibu rumah tangga tapi juga bekerja dari rumah sebagai freelancer. Perempuan tipe keras kepala dan pemberontak hehe. Kalau saya amati memang wakil rakyat yang bergender perempuan prosentasenya lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Mungkin harus dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga, bagaimana cara mendidik anak perempuan supaya bisa lebih percaya diri dengan kemampuan sendiri.

    BalasHapus
  13. Setuju sih kalau perempuan berpolitik yaa untuk menyuarakan suara perempuan. Menurutku, bukan untuk mengalahkan pria. Mestinya pria-wanita ya harus bekerjasama aja sih...

    BalasHapus
  14. Saya setuju perempuan mengambil peran juga dalam dunia politik. Tapi ya itu, jangan terlena saat mendapat jabatan. Kembalilah berperan sebagai penerus suara hati perempuan.

    BalasHapus
  15. Memang sering dipandang sebelah mata ya jika perempuan ingin berkarir di bidang politik. Tetapi zaman sekarang sepertinya sudah mulai bermunculan tokoh-tokoh wanita yang tangguh dan hebat. Kerennya lagi peran mereka sebagai ibu dan istri tetap berjalan dengan baik, salut yang bisa seperti itu.

    BalasHapus
  16. Nah, bener sih part yang paling sedih itu ketika sesama perempuan nggak bisa saing support satu sama lain sih.

    BalasHapus
  17. Ini sih nilai penting nya kita harus faham politik. Kita harus melek bahwa wanita juga kuat dan bisa berprestasi dalam dunia politik contohnya bu risma.

    BalasHapus
  18. IMHO. Kalau dibilang ada pintu yg mudah didobrak lelaki dan tidak mudah bagi perempuan, sebenernya sometimes itu karena perempuan juga. Sekarang ini saya belajar untuk tidak terlalu mengangkat sebab "budaya patriarki" tetapi melihat lebih serius ke dalam. Emangnya saya sebagai perempuan seharusnya ngapain? Apa yang bisa diperbuat untuk sesama perempuan? Krn kalo ngobrolin budaya patriarki, sampe labaran dinosaurus juga gak bakalan kelar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. This Mbak, kembali ke diri sendiri ya. Kita sebagai perempuan mau bergerak atau tidak, faktor dari luar kadang bukan berarti apa-apa selama kita mau berusaha menjajalnya.

      Hapus
  19. Wanita juga berhak mengambil peran sebagai pemimpin di liar rumahh

    BalasHapus
  20. Berpolitik bagus juga sih ya, asal jangan meninggalkan kewajibannya sebagai ibu. Ada pernah baca jangan biarkan orang lain merasa manfaat darimu, sementara orang orang dekat tidak merasa sama sekali. Seimbang setuju.

    BalasHapus
  21. Setuju.
    Perempuan harus melek politik juga agar aspirasinya tersampaikan dengan baik. Apalagi di tatanan negara dengan sistem Demokrasi begini. Gak etis kalau mengkotak-kotakkan profesi karena gender.

    BalasHapus
  22. Di awal sempet gemes banget sama cerita fiksinya, ghibah pas beli sayur, hahaha.. Tapi setuju nih sama artikelnya, sesama perempuan harus saling menguatkan dan nggak ada salahnya kalo perempuan terjun ke dunia politik

    BalasHapus
  23. meski hidup dalam bayang bayang patriakhi, perempuan juga harus melek politik .
    apalagi skrg kuota keterwakilan perempuam di parlemen lbh banyak

    BalasHapus
  24. Budaya patriarki masih kental soalnya di negara kita. Kita beti (beda tipis) sama Korea. Mereka sampai angkat film Kim Ji-young Born 1982 untuk angka isu perempuan. Film itu dan para artis yang dukung juga dihujat warga setempat yang masih pro-patriarki. Meski begitu, film itu menuai banyak pujian.

    Tak ada salahnya perempuan menjadi pemimpin, termasuk memasuki dunia politik. Bukankah sebenarnya RA Kartini itu sebenarnya berpolitik tanpa memasuki parlemen, ia mempengaruhi kebijakan pendidikan di masa itu.

    Semoga makin terbuka ya jalan bagi perempuan untuk bebas berekspresi. :)

    BalasHapus
  25. Aku juga termasuk yang khawatir berpolitik sih mbak..jadi terbuka wawasanku membaca tulisan mbak rindang ini

    BalasHapus

Posting Komentar