Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

man-jadda-wajada

Posting Komentar
Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2009
Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan  berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah dan mandi air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah ibunya: belajar di pondok.

Di hari pertama di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengana “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di bawah teras menara masjid, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
**

Meskipun aku sungguh telat membaca buku ini, tapi hikmah dan energi yang tertransfer ke diriku mungkin masih sama besarnya ketika sang penulis mulai melempar novel ini ke publik. Bagaimana tidak telat, buku ini terbit tahun 2009 -buku yang kubaca adalah cetakan ke-19 tahun 2012, dan dibaca pada tahun 2014! Sama seperti telatnya aku membaca Ayat-Ayat Cinta-nya Kang Abik yang saat itu memang telat boomingnya, bertahun-tahun setelah terbitnya di tahun 2004.

Negeri 5 Menara (N5M) sendiri sudah lama kudengar beritanya. Sudah banyak resensi dan review serta celotehan teman-teman di dunia maya yang kubaca tentang buku ini. Bahkan sudah menonton filmnya pula! Tapi N5M belum juga terbaca. Bukan tidak ingin membaca, tapi aku belum punya waktu membaca dan memang belum berjodoh bertemu dengan buku ini secara kebetulan. N5M yang kubaca ini adalah hasil pinjaman dari perpustakaan daerah dengan sengaja. Pada awalnya di Banjarbaru Book Fair 2014, aku memiliki kesempatan memilih dua judul buku gratis dari stand toko buku Gramedia. Setelah melihat-lihat semua buku yang ada di stand tersebut, aku menjatuhkan pilihan pada Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Kalau pun boleh 3 judul, pasti N5M kukantongi juga. Alasanku memilih dua sekuel terakhir dari triologi N5M ini karena kupikir pasti sudah banyak orang yang memiliki buku N5M, jadi aku bisa pinjam saja =D

Setelah membaca buku ini aku percaya bahwa novel ini adalah kisah nyata. Meskipun di halaman sebelum daftar isi sudah ditulis, bahwa novel ini mengandung fiksi dan ceritanya memang terinspirasi dari kisah nyata yang dialami si penulis. Aku benar-benar membayangkan bahwa Alif, tokoh utama dalam novel itu adalah Ahmad Fuadi, sang penulis. Dia seperti menulis memoar perjalanannya dengan detail saat menjadi santri dulu. Cerita terbaik memang berasal dari kisah nyata. Kisah yang juga bisa disebut sebagai pengalaman, guru terbaik kehidupan.

Buku ini cocok dibaca oleh orang-orang yang mempunyai mimpi. Meskipun jalan untuk menuju mimpi tersebut belum terlihat sekarang. Terlebih, buku ini juga sangat cocok untuk orang yang mempunyai mimpi setinggi langit namun ditertawakan oleh orang-orang di sekitar, dengan embel-embel olokan mimpi di siang bolong. Tidak terkecuali, novel ini juga layak dibaca oleh orang yang hidup tanpa mimpi. Bermimpi adalah salah satu napas kehidupan, oleh karena itu belajarlah bermimpi dan miliki keoptimisan untuk meraihnya. Bermimpi tidak membuat kita rugi.

Pesan utama novel ini adalah satu pepatah arab, man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mencapai tujuannya. Itulah gunanya usaha, mimpi tanpa usaha adalah suatu kesalahan. Mimpi akan membuka jalan dan jalan tersebut akan lebih jelas ketika kita melakukan usaha untuk meraihnya. Dengan satu pepatah tersebut, maka seluruh kisah dalam novel ini tersimpul dengan baik.

Selain itu pelajaran kehidupan yang paling berkesan bagiku yang termuat dalam novel ini adalah mengenai keikhlasan. Betapa keikhlasan mampu merubah kondisi hati dari yang rusuh menjadi damai. Pemahaman tentang keikhlasan adalah salah satu pemahaman yang sulit dimengerti oleh sebagian besar manusia modern saat ini. Karena ikhlas adalah perjanjian suci, tanpa motivasi imbal jasa. Keikhlasan juga energi yang luar biasa di dunia yang penuh dengan tipu daya seperti sekarang. Ikhlas hanya dimiliki oleh hati yang bersih dan menghubungkannya dengan kehidupan –dunia dan akhirat yang baik pula.

Membaca buku ini mengingatkanku pada novel Laskar Pelangi (LP)nya Andrea Hirata. Gaya penulisannya mirip, sama-sama diambil dari kisah nyata pula. Inti ceritanya juga sama, mimpi. Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi kita, karena Tuhan sungguh Maha Mendengar. Perbedaannya terletak pada tema pendidikan dan latarnya. LP lebih menyoroti pendidikan (umum) di pedalaman dan mengemukakan kesenjangan pendidikan antara di daerah dan di perkotaan. Sedangkan di N5M, Ahmad Fuadi mengangkat tema pendidikan agama dengan latar belakang pesantren. Seluk beluk tentang keseharian di lingkungan pesantren, yang mungkin tidak banyak  orang tahu, menjadi bagian terbanyak penyusun novel ini. Tentu saja sisi agamanya lebih menonjol di N5M daripada di LP. Perbedaan lain adalah pada segi bahasa, LP bahasanya lebih nyastra dan berat (bagiku) meskipun tetap ada bagian yang membuatku terpingkal-pingkal. Bahasa Ahmad Fuadi lebih membumi dan cerita-cerita lucu dari Sahibul Menara juga bisa membuatku ngakak aneh membaca novel ini.

Berbicara tentang filmnya, seperti komentarku pada film-film yang diangkat dari novel, bagusan novelnya. Mungkin karena keterbatasan ruang dan waktu, film tidak seperti novel yang membebaskan imajinasi kita dan menikmati detail sebagai pelengkap cerita. Di film N5M, ada beberapa bagian yang kurang sesuai dengan novelnya. Contohnya tentang Sarah yang di novel adalah putrinya Ustad Khalid, sedangkan di film Sarah merupakan keluarga Kiai Rais. Di film juga misi Alif berfoto bersama Sarah tidak berhasil, tapi di novel sebaliknya meskipun fotonya bersama keluarga.

Terakhir, aku sangat menyukai syair atau kata-kata mutiara dari seorang imam yang terkenal yaitu Imam Syafi’i, yang tertulis di bagian awal buku ini. Syair ini membuatku banyak berpikir ulang dalam menata arah peta hidupku ke depan.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih,
Jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang  tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar