Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Cara Mengatasi Trauma Psikologis

22 komentar

Kisah Orang Tua yang Keras Mendidik Anaknya

Aku punya cerita tentang orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan keras. Dia sayang pada anak-anaknya, tapi caranya mendidik tidak memperlihatkan itu. Tujuan yang baik, jika tidak disampaikan dengan baik memang tidak akan berhasil baik. Anak-anaknya pun merasa orang tua mereka tidak menyayanginya. 


Semua kebutuhan fisik dan finansial secara maksimal diusahakan oleh sang orang tua untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Secara ekonomi anak-anaknya tidak mengalami masa yang sulit seperti yang dialami oleh banyak anak lain di sekitar mereka. Meski tidak berlebihan juga karena pendapatannya terbatas, tapi si orang tua benar-benar mengutamakan anak-anaknya dalam pemenuhan kebutuhan finansial. Namun, kelebihan tersebut tidak bisa dilihat oleh anak-anaknya karena tertutup oleh cara keras orang tua dalam mendidik mereka.



Pesan atau maksud baik yang disampaikan oleh orang tua dengan cara yang keras tidak sampai dengan baik ke otak anak-anak yang masih polos. Mereka merasa orang tua mereka selalu marah dan benci kepada mereka.


Anak Pertama

Anak pertama tumbuh dengan jiwa pembangkang. Apapun yang orang tuanya larang ia lakukan, apapun yang orang tuanya suruh ia abaikan. Terkadang ia ingin melakukan sesuatu, tetapi hanya karena orang tuanya menyuruh melakukan itu ia mengurungkan niat tersebut. Di dalam hatinya terpatri tekad agar orang tuanya merasa susah karena ia tidak selalu menuruti kehendak mereka. Ia merasa itulah yang bisa ia lakukan untuk ‘membalas’ perilaku keras orang tua dalam mendidiknya. 


Dalam berinteraksi dengan orang lain, si anak pertama tumbuh menjadi pribadi yang keras, tidak mau mengalah, cenderung egois, suka menyalahkan orang lain, dan blak-blakan. Ia mengadopsi hampir semua sikap orang tua dalam mengasuhnya.


Di masa depan, ketika ia menjadi orang tua, secara tidak sadar ternyata ia juga menerapkan metode pengasuhan orang tuanya. Ia menjadi pribadi yang keras dalam mendidik anak-anaknya. Siklus terulang kembali, tidak ada anak yang dekat dengannya karena benci dengan perilakunya yang keras.


Anak Kedua

Anak kedua tumbuh menjadi sosok yang lembut, tapi sering menghindar. Ia menghindari keributan, ia menghindari pertikaian, ia menghindari kekerasan. Sekilas baik, tapi di sisi lain ia juga menghindar untuk bersikap asertif. Ia trauma dengan luka pengasuhan yang diterapkan oleh orang tuanya, tidak ada diskusi dalam masa kecilnya. Kehendaknya tidak pernah didengar, bahkan jarang mendapatkan kesempatan untuk mengutarakannya. Segalanya berjalan harus selalu berdasarkan sudut pandang orang tuanya.


Pada akhirnya ia tidak terbiasa menyampaikan pendapat. Ia lebih senang diam-diam melakukan apapun, hingga ketika hal yang ia lakukan berkaitan dengan orang lain maka akan muncul masalah. Bagaimanapun, tidak ada dua orang yang sama persis pemikirannya. Menurut kita bagus hal itu dilakukan, belum tentu bagus juga dari sudut pandang orang lain. 


Di lingkungan sosial, si anak kedua tumbuh menjadi pribadi yang sensitif dan lebih memilih memendam perasaan saat merasa disakiti oleh orang lain. Pada beberapa kesempatan, perasaan negatif yang terpendam ini akan meledak menjadi pertikaian besar.


Jika anak pertama akan melawan ketika dimarahi oleh orang tuanya, maka si anak kedua diam saja namun memendam bara dalam hatinya. Ia punya sejuta jawaban di hatinya tanpa pernah bisa mengungkapkan satu kata pun.


Anak kedua ini malas berbicara dengan orang-orang yang berpotensi melukai hatinya, seperti orang tua dan kakaknya. Berkat penghindaran tersebut, ada banyak masalah yang bergerilya di bawah permukaan. Ada banyak masalah yang tidak bisa dicari jalan keluarnya karena tidak dibicarakan. 


Uniknya, ketika menjadi orang tua si anak kedua pun menerapkan pola parenting yang sama dengan apa yang orang tuanya lakukan. Sama seperti anak pertama, mungkin pola parenting tersebut membekas, terpatri, dan sulit dikeluarkan dari jiwa. Mungkin dari alam bawah sadar ada perasaan ingin membalas perlakuan orang tua dengan melakukan hal yang sama pada generasi di bawahnya. Sekali lagi tentu saja ini tidak dilakukan secara sadar karena secara sadar, orang tua manapun pasti tidak akan melakukan hal yang akan menyakiti sang buah hati. Siklus berulang, ia berjarak dengan anaknya karena sikap kerasnya tersebut.


Tentu saja kedua anak ini juga memiliki sifat-sifat positif lain yang jauh lebih banyak daripada sifat negatif yang tertera di atas. Pun juga sang orang tua, sebagai manusia dia punya banyak kelebihan yang lebih dominan daripada sikap keras pada anak. Namun, karena kisah ini bercerita tentang pola pengasuhan yang buruk dan efeknya bagi generasi di bawahnya sehingga yang menjadi sorotan adalah karakter-karakter negatif yang terbentuk dari siklus ini.


Lingkaran Setan Pola Pengasuhan

Kembali ke orang tua yang boleh jadi juga merupakan ‘korban’ pola parenting yang keras di masa kecilnya. Bahkan di masa tuanya ia tidak menyadari bahwa sikap itulah yang membuat anak-anaknya malas berkunjung ke rumah. Hingga ketika ia sakit, kedua anaknya tidak pernah bisa lama menemani. Mereka berdua saja tidak sering saling bicara. Efek buruk jangka panjang dari pola pengasuhan yang tidak tepat dengan karakter anak akan mengganggu hubungan antar saudara.


Anak-anak yang diperlakukan dengan baik dan ramah jauh akan lebih mudah berbakti kepada orang tua. Sebaliknya, anak-anak yang merasa orang tua mereka keras kepada mereka, berbakti di masa depan mungkin akan menjadi tantangan tersendiri. Mungkin tidak sedikit dari mereka yang tergelincir menyandang embel-embel anak durhaka.


Tujuan orang tua mendidik anaknya dengan kerasa, selain bawaan alam sadar di masa kecil, mungkin agar mereka disiplin, kuat dalam mengarungi hidup, dan tidak menjadi orang bermental lemah. Tapi lihatlah, selain mendapatkan tujuan yang diinginkan orang tua juga mendapatkan efek samping yang tidak mengenakkan. Kehidupan berkeluarga menjadi tidak nyaman. Sedang tujuan-tujuan baik di atas sebenarnya tetap bisa didapatkan dengan cara yang baik dan ramah.


Cara Mengatasi Trauma Psikologis

Memiliki sejarah hidup dengan pola pengasuhan yang buruk seperti kisah di atas pasti akan meninggalkan trauma psikologis yang berat. Terutama bagi anak kedua dalam cerita di atas, sedangkan anak pertama malah berpotensi menjadi pelaku selanjutnya.


Berikut adalah beberapa saranku untuk mengatasi trauma psikologis akibat pola pengasuhan yang buruk:

1. Sadari Secepatnya

Saat menyadari bahwa kita berada di posisi pernah atau bahkan masih mengalami trauma psikologis akibat pola pengasuhan yang buruk, saat itulah proses healing akan dimulai. Rasa sadar adalah awal yang baik untuk proses penyembuhan hati yang terluka. Saat belum sadar bahwa kita berada di posisi ini atau denial, kita tidak mengakui bahwa kita sedang terluka, pasti akan sulit mengatasi atau mengobatinya. Kesediaan untuk memulai proses penyembuhan adalah kunci.




2. Berhenti Menyalahkan Orang Tua

Jika terus menyalahkan orang tua, hati kita pasti menjadi tidak tenang. Karena sebenarnya kita sangat sayang pada mereka. Perasaan yang bertentangan inilah yang membuat hati tidak nyaman. Selain itu, perasaan menyalahkan orang lain akan membuat trauma psikologis ini tidak mudah ditangani. Kemungkinan gagal pada setiap tahapan perbaikan akan terjadi karena kalimat ‘ini gara-gara orang tuaku, ini kesalahan mereka.’


3. Maafkan Orang Tua

Mulailah proses healing dengan memaafkan orang-orang yang menyakiti hatimu, dalam kasus ini adalah orang tua. Sadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak mungkin bisa sempurna. Sekali lagi sadari bahwa mungkin mereka juga adalah korban dari pola pengasuhan yang buruk di masa lalu. Hidup mereka tidak mudah, jangan ditambah dengan kebencian kita pada mereka. Ini tentu sangat mnyakitkan bagi mereka.


4. Lepaskan Perasaan yang Mengganjal

Perasaan-perasaan yang mengganjal akibat trauma psikologis ini perlu dilepaskan pada tempat yang tepat agar hasilnya juga baik. Carilah metode yang cocok untukmu, bisa dengan cara journaling, meditasi, atau bahkan salat malam. Tuangkan segala keluh kesahmu di sana agar beban di dada hilang.


5. Pergi ke Psikolog

Seperti mendatangi dokter saat kita sakit fisik, mendatangi psikolog saat kita mempunyai trauma psikologis adalah cara yang tepat. Kita akan mendapat nasihat, obat, atau treatment yang tepat dari ahlinya. Ikhtiar secara medis ini sangat perlu dilakukan. Jangan takut dengan pendapat orang lain, yang penting kamu sehat jiwa raga.


6. Mulailah Berbaik Sangka

Berbaik sangkalah pada semua hal di sekitarmu. Dengan begitu energi negatif di dalam diri akan hilang. Energi positif akan menarik energi positif lainnya. Misal dalam kasus ini, si anak kedua harus selalu berbaik sangka pada orang tua dan kakaknya. 


Mungkin cara mereka buruk, tapi berbaik sangkalah bahwa itu merupakan cara terbaik mereka untuk menyampaikan pendapat. Dengan berbaik sangka, kita akan berhenti menghindar dari interaksi sehingga akan terjadi komunikasi yang akan membuka simpul-simpul masalah.



Demikian cara mengatasi trauma psikologis akibat pola pengasuhan yang buruk ala aku. Semoga kita tidak pernah menjadi pelaku dan korban dalam kasus ini. Jika bisa menjadi pencegah kasus seperti ini terulang pada sebuah keluarga, maka lakukanlah. Dunia butuh kesehatan mental lebih banyak agar lebih nyaman ditinggali. []

Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

22 komentar

  1. Sangat berpengaruh sekali ya cara orangtua memberikan pengasuhan dan pendidikan buat anak sebagai bekal hidupnya nanti. Penting nih buat para orangtua untuk mengenal terlebih dahulu kepribadian dan karakter anak dengan cara dekat kepada anak supaya bisa melakukan proses pengasuhan dan pendidikan yang tepat.

    BalasHapus
  2. setujuuuuu banget, saya termasuk yang didik keras sebagai anak pertama. Harus jadi juara, harus pintar, harus bisa memberi contoh. rasanya beneran tertekan dan didik super keras. Tapi ngga mau melakukan hal sama kepada anak. karena semua sekarang sudah berubah

    BalasHapus
  3. Baca ini mau tidak mau mengingat pada innerchild yang menjadi biang trauma. Meneruskan pengasuhan masa lalu ke masa sekarang memang seperti membentuk lingkaran setan pengasuhan

    BalasHapus
  4. Kalau mau jujur, pola asuh orangtua zaman dulu tuh keras-keras. Jadinya mereka kaya gitu sama anak. Sekarang parenting udah banyak berubah. Melepaskan trauma jelas gak mudah. Tapi memang kudu dimulai dari diri sendiri dengan memaafkan

    BalasHapus
  5. yup, pola asuh orang tua nantinya bisa terus dipraktekkan oleh si anak ke anaknya lagi. Seperti misalnya keluarga militer yang katanya terkenal dengan didikan seorang ayah yang keras, anaknya biasanya secara nggak langsung juga akan menerapkan pola asuhnya ke anaknya lagi.
    parenting sepertinya terlihat susah ya mbak, tapi memang perlu dipraktekkan juga nantinya, supaya tau mana pola asuh yang baik untuk si anak, karena mungkin apa yang diserap si anak bisa berbeda, antara anak ke 1 dan anak ke 2

    BalasHapus
  6. Kalau anak sudah trauma ini jadi berat sih yaa..
    pendekatannya kudu dari sisi agama juga dari sisi keilmuan.

    Doanya memang semoga Allah mudahkan untuk melepaskan segala luka yang pernah ditorehkan oleh kedua orangtua. Mungkin saat itu belum ada ilmu pengasuhan atau mungkin dalam kondisi lelah fisik mental, dll.

    Kudu cari banyak alasan agar hati tenang dan gak terluka atas pengasuhan.

    BalasHapus
  7. Aku nangis baca ini, Mbak... Aku berada di posisi anak kedua dalam cerita di atas. Kalau gak salah aku sudah beberapa kali menuliskan sedikit kisahku hubungannya dengan masa kecil dan pengasuhan kedua ortuku yang keras, di blogku. Aku sadar sih akan luka masa lalu itu, tapi proses penyembuhannya enggak mudah.
    Alhamdulillah sih ada suami yang selalu bantu aku memperbaiki hubunganku dengan kedua ortuku. Sampai detik ini pun aku masih berproses.
    Makasih sharing ilmunya, Mbak :)

    BalasHapus
  8. Lagi lagi pola asuh yang menentukan gimana anak ya, cil.. Btw ulun jua urang banua, cil. Angkinang ehehhe

    BalasHapus
  9. Kagum dengan artikelnya.
    Yang bikin aku berpikir bahwa tipikal anak pertama dan kedua, hampir selalu begini. Mengingat seringkali orangtua meletakkan "My mini-me" di anak pertama. Sehingga anak pertama cenderung ambis, egois dan perfeksionis.

    Semoga luka-luka pengasuhan bisa kita basuh dengan baik oleh ikhtiar pergi ke tenaga ahli dan berdoa memohon ampun pada Allah.

    BalasHapus
  10. Ulasan menarik, Mbak
    Berbeda dengan saya yang punya orang tua baik-baik saja, suami saya termasuk yang mendapatkan pola pengasuhan yang bikin trauma. Karenanya, sebagai pasangan saya kadang mesti mengingatkan. Memang lingkaran setan pola pengasuhan ini rentan terjadi.

    BalasHapus
  11. sebagai anak perempuan pertama betul banget mba, kita dituntut secara tidak langsung untuk selalu jadi pengayom dan tegas serta mandiri dalam banyak hal. tapi seiring dengan itu, tuntutan itu membuat jiwa pembangkang juga cukup kuat. proses dan pola asuh itu sedikit banyak meninggalkan hal-hal yang kurang menyenangkan. namun saya beruntung tidak sampai merasakan trauma psikologis. semoga yang mengalami ini cepat disembuhkan

    BalasHapus
  12. Saya anak pertama dan memang di antaranya ada dalam diri saya.

    BalasHapus
  13. Pola pengasuhan memang sangat penting bahkan pada kasus tertentu, pola pengasuhan yang dulu sangat tidak disukai anak justru tanpa disadari juga akan diterapkan pada anaknya. Meskipun aku ngak mengalaminya, tapi justru suamiku yang mengalami pola asuh seperti ini, meskipun sulit perlahan dia mulai berubah yang diawali dengan memaafkan masa lalunya, yah dahulu referensi parenting orangtua sangat terbatas begitu juga pendidikan.

    BalasHapus
  14. Mendobrak siklus luka pengasuhan memang membutuhkan perjuangan ya Mbak. Biasanya luka seperti ini jarang diakui dan disadari oleh anak ketika kelak dewasa, sehingga terus berulang. Semoga kita termasuk orang tua yang bisa berubah dan menerapkan pola asuh yang lebih baik untuk anak-anak.

    BalasHapus
  15. Poinnya berarti gimana memutus mata rantai pola pengasuhan yang salah dari ortu agar kita tak ulangi kelak di keluarga sendiri/anak ya. Setuju banget dengan poin memaafkan. Itu memang hal pertama yang kudu dilakukan agar kita kayak gak bawa 'kantong sampah' ke mana-mana. Berat, tapi by proses.

    BalasHapus
  16. Memang tidak ada orangtua yang sempurna ya mbak
    Aku menyadari itu setelah menjadi orangtua
    Tapi memang inner child ini harus disembuhkan
    Biar nggak mengganggu pola pengasuhan kita sendiri

    BalasHapus
  17. Kok saya tersentil, ya, Mbak. Maksudnya mau mendisiplinkan anak, tetapi kurang bisa melakukannya dengan bijak. Ternyata dampaknya bikin ngeri.

    BalasHapus
  18. Seorang yang kukenal, mendapat perlakuan keras dari orangtuanya. Sampai dia pernah sakit tipes diopname saking capeknya di rumah. Tapi dia tidak menyesal. Alhamdulillah sekarang orangnya sukses. Tapi ke anak dia ga mau sekeras itu. Ada komprominya juga.

    BalasHapus
  19. Nangis baca ini
    Peluk online buat kakak, ya

    BalasHapus
  20. Ini relatable dengan banyak orang mba
    karena memang pola dan gaya pengasuhan jaman dulu kerap menimbulkan luka menganga di hati.
    Semoga bs menyembuhkan banyak orang

    BalasHapus
  21. Hasilnya sama2 ngga baik ya, anak pertama maupun kedua, serba salah. Semua karena tipe pola pengasuhan yang keras. Harus bisa memaafkan jika punya pengalaman demikian, supaya ga terbawa2 terus kekecewaannya, tapi pasti ga mudah

    BalasHapus
  22. Makasih mbak nyaaaa..sudah berbagi info penting dan kembali mengingatkan betapa pentingnya pola asuh yg baik dan benar sesuai jamannya.

    BalasHapus

Posting Komentar