Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

[Mini Biografi] Alfian

Posting Komentar
Namanya Alfian, seorang laki-laki yang terlahir yatim dari rahim perempuan setengah baya. Ayahnya, Juraid, meninggal saat ia berusia 3 bulan dalam kandungan. Ibunya, Siti Aliyah, berusia sekitar 40 tahunan ketika melahirkannya. Hari itu tanggal 10 Maret 1968, menjadi hari paling bersejarah baginya. Ia menyapa dunia sebagai bungsu dari 4 bersaudara.

Saat itu, Bangsa Indonesia sudah merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun, sistem kehidupan dan ekonomi masyarakat belum sepenuhnya merdeka. Rakyat kecil masih harus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman. Begitu pula yang dirasakan oleh Alfian, sebagai anak kecil yang hidup dengan kondisi tidak menguntungkan tentu keadaan sangat berat. Ibunya hanya seorang petani di sebuah desa kecil di Kalimantan Selatan.

http://sms-for-u.mihanblog.com

Setelah menamatkan SD di kampung, ia kemudian melanjutkan SMP di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Di sini ia ikut dengan kakak keduanya yang sudah menikah dengan seorang lelaki yang memiliki banyak usaha. Jadi, selain sekolah ia juga membantu kakak iparnya. Mulai dari beternak macam-macam binatang hingga berkebun berbagai jenis tanaman. Kehidupan sangat keras ia jalani di sana.

Ketika SMA, ia pindah ke Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kali ini ia juga ikut menumpang di rumah kakak perempuan sulungnya yang juga sudah menikah. Meski begitu, ia membiayai kehidupannya sendiri. Ia bekerja di banyak hal untuk memenuhi kebutuhannya.

Selepas SMA ia pun mencari kerja. Ia mendapatkan berbagai pekerjaan serabutan di Banjarbaru. Pada saat lebaran, ia pulang ke kampung halaman untuk menengok ibunya. Di kampung, ia terpikat dengan seorang gadis yang masih terkait jalinan keluarga dengannya. Tidak lama kemudian, pada tahun 1991 mereka menikah. Ya, ia menikah pada usia 23 tahun. Cukup muda untuk ukuran seorang lelaki.

Mereka kemudian hidup di Banjarbaru. Satu tahun kemudian, ia dikaruniai anak pertama dengan jenis kelamin perempuan. Pekerjaannya, meski tidak tetap tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan anak istrinya. Ia pernah bekerja sebagai pegawai di sebuah instansi pemerintah, tapi tidak berlangsung lama karena bosan. Ia lebih memilih bekerja di perusahaan pertambangan dengan posisi sebagai driver.

Ia dan keluarga kecilnya sempat pindah ke Kota Samarinda (lagi) saat istrinya mengandung anak kedua. Ketika hari melahirkan tiba, mereka pulang kampung. Anak kedua mereka laki-laki lahir dengan selamat di rumah mertuanya. Ketika si bungsu sudah cukup umur, mereka kembali merantau ke Landasan Ulin, Kalimantan Selatan. Ia kembali bekerja dengan beberapa kali mengganti seragam perusahaan. 

Pada suatu waktu, ia dan keluarganya kembali pindah ke Banjarbaru. Di sini, putri pertamanya mulai masuk sekolah TK. Kehidupan yang menyenangkan ia jalani meski keadaan ekonomi keluarganya tidak bisa dibilang berlebihan.

Di tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda seluruh Indonesia dan putrinya akan masuk SD, ia memutuskan untuk pulang kampung. Kali ini ia memilih tinggal di rumah orangtuanya yang memang hidup sendiri. Anak pertamanya pun sekolah di SD di kampung tersebut. Di kampung, ia tidak memiliki pekerjaan tetap yang dapat mencukupi kehidupan keluarganya. Sehingga ia mengalah untuk merantau seorang diri dan anak-anak serta istrinya tetap tinggal di kampung untuk bersekolah. Untuk menambah pendapatan, istrinya membuka warung di dekat SD yang memang dekat dengan rumah mereka. 

Saat anak pertama mereka kelas dua SD, mereka akhirnya dapat membangun rumah sendiri di sebelah rumah orangtuanya. Ia tetap pulang pergi merantau setiap 2-3 bulan sekali. Merantaunya pun jauh sekali, seringnya ke pedalaman provinsi tetangga. Pada suatu waktu, ia sempat kehilangan pekerjaan selama hampir 6 bulan. Pada waktu yang lain, ia juga pernah terserang penyakit mistis dan dirawat oleh keponakannya yang seorang dokter di Samarinda.

Waktu terus berlalu, ia hanya bertemu dengan keluarganya paling banyak 10 kali dalam setahun. Satu kali cuti rata-rata hanya memakan waktu sekitar satu minggu. Hingga kedua anaknya lulus kuliah dan sama-sama bekerja. Ia masih terus bekerja untuk mengisi kegiatan. Pekerjaannya memang sudah mulai mudah dan jabatannya di sebuah perusahaan tambang juga cukup menjanjikan. Ia diangkat menjadi karyawan senior dengan gaji lumayan.

Namun, desakan dari keluarga yang menginginkan ia pulang kampung saja terus merongrongnya. Pada tahun 2017, ibunya meninggal di Samarinda, di rumah kakak perempuannya. Setelah itu, pertengahan tahun 2018 akhirnya ia memutuskan untuk resign. Berkumpul dengan keluarga dan mengurus kebun serta ternak di sekitar rumahnya sekarang menjadi kegiatannya sehari-hari.

Mungkin terlihat tidak ada yang istimewa dari kehidupan seorang Alfian. Namun, perjuangan dan kerja keras tak pernah henti adalah hal yang patut dicontoh dari sosok ini. Semoga kisah hidupnya dapat menjadi pelajaran. Aamiin.[]
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar