Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah Pandemi

17 komentar

Hari Senin yang lalu, tanggal 31 Mei 2021 aku mengikuti acara Ruang Publik yang diadakan oleh Kantor Berita Radio (KBR) secara live lewat channel Youtube mereka. Diskusi ini mengangkat tema Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah Pandemi.


Ada yang masih ingat dengan penyakit kusta? Boleh jadi, anak-anak zaman sekarang ada yang tidak tahu dengan penyakit ini. Penyakit ini santer terdengar beberapa belas tahun yang lalu. Aku sendiri mendengar tentang kusta pertama kali dari buku yang berisi jenis-jenis penyakit yang kubaca saat SD, bukan karena ada yang menderita kusta di daerah terdekat.



Apa pula yang dimaksud dengan pembangunan inklusif disabilitas? Aku tahu isu ini, tapi tidak banyak. Karena lagi-lagi, tidak relate dengan kondisi di sekitarku. Untuk mengupas dua tema menarik yang saling berhubungan ini, yuk simak rangkumanku dari hasil diskusi di acara diskusi Ruang Publik ini.


Dipandu oleh Ines Nirmala, acara ini diadakan pada pukul 09.00-10.00 WIB. Dua pembicara yang berkecimpung dalam bidang ini juga diturut diundang yaitu Bapak Dr. Rohman Budijanto, SH MH, Direktur Eksekutif The Jawa Post Institute of Pro Otonomi JPIP dan Komarudin, S.Sos. M.Kes, Wakil Supervisor (Wasor) Kusta Dinas Kesehatan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. 


Mengenal Penyakit Kusta

Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit dan jaringan saraf perifer serta mata dan selaput yang melapisi bagian dalam hidung. Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit lepra.


Gejala penyakit kusta tidak terlalu jelas dan berkembang dengan lambat. Oleh karena itu banyak yang tidak menyadarinya. Berikut adalah beberapa gejala penyakit kusta. 

  1. Terdapat bercak merah atau putih di kulit dan tidak gatal
  2. Kulit mati rasa, kaku, atau menebal
  3. Kesemutan
  4. Mata kering
  5. Muncul luka tapi tidak sakit


Penyakit kusta dapat muncul karena beberapa penyebab, yaitu:

  1. Memiliki kelainan genetik pada sistem imun
  2. Kontak fisik dengan hewan penyebar bakteri kusta
  3. Tinggal di daerah endemik kusta
  4. Berinteraksi dengan penderita kusta


Indonesia menempati urutan ketiga di dunia untuk jumlah penderita kusta terbanyak. Secara persentase, jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk Indonesia jumlah penderita kusta relatif sedikit. Menurut data, tinggal 8 provinsi di Indonesia yang kasus kustanya masih ada dengan jumlah sekitar 16 ribu kasus. 


Perbandingannya kurang dari satu orang dari 10.000 orang di Indonesia yang menderita kusta. Dengan jumlah yang relatif kecil tersebut dan kurang masifnya komunikasi pemerintah mengenai kusta, banyak orang berpikir bahwa kusta tidak ada lagi di Indonesia. 


Gaungnya makin lama makin kecil. Namun sekecil apapun mereka adalah manusia dan warga negara republik Indonesia, tetap butuh dilakukan penanganan. Apalagi angka temuan kasus barunya masih terus stagnan pada 10 tahun terakhir. Kapan target program Indonesia Bebas Kusta dapat tercapai?


Geliat Pemberantasan Kusta di Kabupaten Bone selama Pandemi

Secara umum, geliat pemberantasan kusta pada masa pandemi mengalami hambatan. Adanya pembatasan fisik di masa pandemi Covid-19 membuat para petugas mengurangi intensitas turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi dan pemantauan langsung.


Hal tersebut mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kasus kusta sekitar 28% di Kabupaten Bone. Jadi, bukan jumlah kasusnya yang berkurang tapi terbatasnya kesempatan petugas untuk mengumpulkan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi atau pendataan. Dampak lain dari pandemi adalah berkurangnya gaung mengenai isu penyakit menular selain Covid-19 seperti kusta, HIV, TBC, dan beberapa penyakit lainnya. 



Upaya Dinas Kesehatan Kabupaten Bone pada masa pandemi dalam pemberantasan kusta tetap dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Intensitasnya tentu tidak sebanyak sebelum pandemi terjadi. Kalau dihentikan sama sekali khawatir akan semakin banyak terjadi penularan di masyarakat. Para petugas tidak boleh berinteraksi langsung dengan masyarakat, harus selalu menggunakan APD. 


Tahap pertama yang dilakukan adalah screening kusta atau pendataan. Jika ditemukan orang yang mengalami gejala, maka harus dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Jika ada gejala awal langsung ditindaklanjuti, jangan sampai parah baru ketahuan. Setelah itu yang bersangkutan harus rutin datang ke puskesmas untuk memantau kesehatannya.


Kegiatan lain yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Bone adalah pemberian obat pencegah kusta kepada masyarakat luas serta mengadakan kampanye eliminasi kusta. Bone memang termasuk salah satu daerah endemik kusta sehingga penting untuk selalu melakukan kegiatan pencegahan dan penanganan di sana. 


Cara penularan penyakit kusta mirip dengan Covid-19 yaitu melalui droplet. Namun, gejala fisiknya lebih kentara sehingga penanganannya lebih mudah dan bisa segera dilakukan. Jika Covid-19 berdampak pada organ dalam misal paru-paru, sedangkan kusta berefek pada organ luar tubuh seperti mata, tangan, atau kaki. Sehingga penyakit kusta dapat menyebabkan disabilitas. Oleh karena itu jika Covid-19 ditakuti karena risiko kematiannya yang tinggi, kusta ditakuti karena efeknya yang dapat mengakibatkan kecacatan fisik.


Selain tenaga kesehatan di puskesmas atau rumah sakit, Bone juga melibatkan kader khusus kusta yang bertugas mendeteksi kelainan kulit di masyarakat. Mereka juga melakukan penyuluhan di desa dan sekolah-sekolah. Mereka menyebarkan slogan orang Bone yaitu ‘siapa waspada dia selamat, yang lalai dia akan celaka’.


Penderita kusta yang belum minum obat kusta bisa menularkan pada orang lain yang berkontak cukup lama seperti anggota keluarga satu rumah. Jika daya tahan tubuh orang itu kuat maka orang itu tidak akan tertular. Menurut penelitian di antara 100 orang hanya 5 orang yang rentan tertular, sisanya kebal. 


Untuk mencegah kecacatan pada penyakit kusta, setiap pasien harus segera melakukan pemeriksaan pada tiga anggota tubuh utama yaitu tangan, mata, dan kaki. Jika ditemukan gejala maka harus secepatnya ditindaklanjuti dengan pengobatan. Gejala yang dibiarkan itulah yang dapat menyebabkan kecacatan.


Pasien kusta harus tahu bagaimana cara merawat dirinya. Yang terlanjur cacat misal luka pada telapak kaki harus melakukan perawatan diri dengan merendam kaki di air dalam baskom, kemudian dibersihkan lukanya. Luka tersebut lalu diolesi selep dan dibalut. Rendam-gosok-oles adalah tahap penting dalam proses perawatan gejala kusta. Jika rutin melakukannya disertai mengonsumsi obat maka dalam hitungan bulan kusta yang dialami bisa sembuh.


Pembangunan Inklusif Disabilitas di Jawa Pos

Pada masa pandemi jangankan yang difabel, karyawan normal saja banyak yang kehilangan pekerjaan. Namun inklusivitas jangan sampai dikesampingkan. Jawa Post belum pernah menemukan Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dalam proses rekrutmen. Meskipun begitu, Jawa Post sendiri tidak pernah membatasi kriteria calon pelamar selain yang berkaitan dengan kemampuan yang dibutuhkan.


Beberapa karyawan Jawa Pos pernah ada yang fisiknya tidak sempurna, seperti (maaf) mengalami gangguan penglihatan, bibir sumbing, tinggi badan tidak normal, dan difabel setelah besar bukan dari lahir. Mereka ada yang bekerja sebagai ahli bahasa, layouter, dan editor. 


Setiap orang punya keahlian masing-masing, terkadang tidak harus memiliki indera yang lengkap. Sebelum ada undang-undang yang mewajibkan jumlah 2% dari jumlah karyawan adalah difabel, Jawa Post sudah menerapkannya.


Jawa Pos tidak pernah memandang keterbatasan fisik, perbedaan suku atau agama. Pola rekrutmennya sama dengan non-disabilitas. Semua diukur dari kompetensi yang diminta. Jika yang bersangkutan bisa memenuhi maka akan di-hire. Bapak Rohman Budijanto mengatakan bahwa pihak Jawa Pos kadang baru menyadari mereka difabel saat mereka diterima.




Menghapus Stigma Negatif Penderita Kusta

Penderita kusta seringkali mendapat stigma negatif dari masyarakat. Awalnya mungkin hanya untuk menjaga jarak untuk menghindari penularan. Namun lama kelamaan stigma negatif muncul, mulai dari bahwa kusta itu kutukan hingga kusta merupakan aib padahal hanya murni masalah kesehatan.


Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan stigma negatif? Pertama, dengan tidak menjauhi orangnya tapi penyakitnya. Tetap harus menjaga jarak secara fisik, tapi secara mental mereka harus didukung. Kebersihan di sekitar mereka harus dijaga dan ventilasi di dalam ruangan harus cukup. Harus ada pendampingan intensif untuk mereka sampai benar-benar sembuh.


Jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk mereka adalah dengan memberikan pelatihan keahlian digital, agar mereka bisa bekerja dari jarak jauh sehingga aman untuk diri mereka dan orang lain. Di Kabupaten Bone, para penderita kusta diarahkan untuk membuat kerajinan tangan dari barang bekas agar mereka tetap dapat berkarya meski fisik mereka tidak sempurna. 


OYPMK juga dapat diarahkan untuk berbicara kepada masyarakat dan memberikan testimoni bagaimana mereka bisa berhasil sembuh dari kusta. 


Demikian, hasil bincang-bincang pada acara Ruang Publik yang diselenggarakan oleh KBR. Tema geliat pemberantasan kusta dan pembangunan inklusif disabilitas ini ternyata cukup penting untuk diketahui agar gaungnya tidak hilang di tengah pandemi Covid-19. []

Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

17 komentar

  1. Saya juga tahu sama penyakit kusta waktu kecil dulu dari selebaran milik kakak sepupu yang kebetulan bekerja sebagai penyuluh kesehatan masyarakat. Gara-gara baca selebaran itu saya sering banget nyubit kulit kalau kebetulan ada bercak putihnya hanya untuk meyakinkan apakah kulitnya ga mati rasa ;')

    BalasHapus
  2. Sarannya bagus babget nih jadi kita tetap bisa mendukung para penderita kusta. Mereka yang memiliki penyakit kusta ini pun juga gak merasa dikucilkan dan juga ada pemberdayaan bagi mereka.

    BalasHapus
  3. kusta ini emang dulu menakutkannya seperti covid skrg. kayaknya gmn gt kalau dneger org kusta.sykurlah stigma udah berubah bahkan penderita kusta dapat pelatihan2 ya

    BalasHapus
  4. Kusta ini dulu pas lg zaman ngetrend bener2 horor. Kek dijauhin banget penderitanya. Padahal andai wawasan kita terbuka ttg ini gak gitu banget jg. Yg penting mmg hrs diobati ya.

    BalasHapus
  5. aku secara pribadi kayaknya belum pernah ketemu dengan penderita kusta deh. Tapi kadang kalau lihat ada orang anggota tubuhnya cacat suka kepikiran apa karena kusta ya? keren ya Jawa Pos termasuk dalam perusahaan yang menerima pekerja dengan riwayat kusta di perusahaannya

    BalasHapus
  6. ternyata aku kurang tau dengan penyakit kusta, sering dengarnya sih kista penyakit di rahim, hehe..

    BalasHapus
  7. kusta ini penyakit yang sudah lumayan lama ya kan ya? baru tahu juga di Bone merupakan salah satu daerah endemik kusta. Yang kutahu kusta ini pengaruh paling terlihat itu ke kulit, tapi ternyata penyebarannya lewat droplet.

    Bagusnya memang ketika ada yang terkena, diberi support spt ini melalui akses menuju kesembuhan. tentu saja dukungan agar tak terkena diskriminasi

    BalasHapus
  8. Memang edukasi seperti ini harus digencarkan ya Mba
    Supaya tdk ada stigma seputar kusta.
    juga survivor kusta diberikan kesempatan utk meniti karir juga

    BalasHapus
  9. Dulu pernah dengar penyakit kusta, tapi gak tahu penyakit apa. Makasih informasinya, membangun awereness akan penyakit ini.

    BalasHapus
  10. Lho, ternyata Indonesia menempati posisi ketiga untuk penderita kusta ya Mbak? Ya Allah. padahal kupikir sudah sangat jauh karena di sini RS khusus kusta juga sudah jadi RS propinsi. Juga kkayaknya di Jawa sudah tidak ada. Ternyata di Bone masih jadi endemi, ya.
    Semoga bisa segera dituntaskan dan para penderita baik yang mengalami disabilitas maupun tidak akan mendapatkan pekerjaan sesuai kemampuan dan kelayakan. Aamiin

    BalasHapus
  11. Urutan ketiga di dunia ya Indonesia, meskipun total kasus terbilang kecil tapi tetap harus ditekan ya Kak biar terus menurun dan hilang sama sekali. Yang tak kalah penting, bagaimana mengikis stigma negatif yang terlanjur terpatri di masyarakat bahwa kusta itu kutukan dan memalukan. Padahal penularan terbilang susah ya, Kak, dan bisa disembuhkan asal diobati. Salut dengan Jawa Pos yang membuka pintu peluang bekerja bagi difabel, karena memang kompetensilah yang mesti dinilai, bukan penampilan atau kondisi fisik.

    BalasHapus
  12. Wah Jawa Pos ini surat kabar favorit ku. Bener banget jangan sampai diskriminasi lah. Kalau memang pekerjanya bagus kinerjanya, ga ada alasan dia disabilitas atau OYPMK. Hmm, kusta ternyata lewat droplet ya

    BalasHapus
  13. Apakah Jawa Pos tersebar di seluruh Indonesia untuk semua posisi di bidang jurnalistik?
    Ini kesempatan yang sangat baik sekali bagi OYPMK.

    BalasHapus
  14. kalau ngeliat di berita ata internet orang penderita kusta pernah mbak, tapi menyaksikan langsung belum. Bahaya juga soal kusta ini harus banyak diedukasikan ke masyarakat

    BalasHapus
  15. Aku pun baru tau penyakit ini ktk sekolah smp dulu. Anak aku gak tau sama sekali sm kusta ini.

    Perlu dikasih tau jg nih ttg cerita penyakit ini. Sehingga jk suatu hari ketemu penderita kusta kita gak mengucilkan ya.

    BalasHapus
  16. Sering denger kusta ini tapi Eny masih kurang ngeh nyerang dmna aja ternyata yg harus diperiksa 3 organ tubuh ini ya

    BalasHapus
  17. Dahulu kala penyakit ini diasosiasikan dengan kutukan. Namun seiring kemajuan teknologi kedokteran, stigma ini berangsur-angsur hilang.

    BalasHapus

Posting Komentar