Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Sial

Posting Komentar
“Seseorang hanya perlu satu kesialan untuk menyadari bahwa hidup itu tidak mudah.”

Aku kini merasakannya. Minggu lalu, aku didera kesialan dengan menjadi saksi rusaknya sebuah alat penting di kantor. Jadi ceritanya begini, saat itu aku dapat giliran bertugas di lapangan bersama dua juniorku. Seharusnya, hari itu salah satu seniorku bisa ikut tapi karena ada suatu hal mendadak jadi batal ikut. Seniorku yang satunya lagi sudah ke lapangan satu hari sebelumnya. Fix, aku sendirian yang handling semuanya. Bukan pertama kali begini sih, hanya saja hari itu aku sedang sial.

coaching-netz.info

Sehari sebelumnya, aku sudah cek peralatan yang akan digunakan di lapangan. Semuanya oke, termasuk alat yang rusak ini. Hari H tiba, kami berangkat dan sampai di lokasi. Alat tersebut masih mau menyala ketika kutekan tombol on. Sambil menunggu dia warming up aku mengecek alat yang lain apakah sudah terpasang dengan benar atau belum. Pas balik lagi ke alat tersebut, kondisinya sudah mati. Awalnya aku tenang-tenang saja, karena beberapa kali sebelumnya di lapangan aku sudah pernah melihat kasus ini. Penyebabnya ada di kabel, sambungannya dengan adaptor hampir copot dan mempengaruhi aliran listrik. Hal ini karena kabel tersebut selalu digulung ketika dimasukkan ke dalam kotak.

Namun, aku mulai panik karena lama sekali terus mencoba si alat tak mau menyala juga. Karena keterbatasan alat untuk memperbaiki kabel tersebut, (biasanya harus digunting dan disambung kembali, jadi kabelnya semakin pendek) kami pun menyerah dan berharap ketika ke kantor si alat sudah bisa diperbaiki. Aku yakin masalahnya ada di kabel atau adaptor, karena ketika kabel digerak-gerakkan alat itu masih  merespon dengan bergetar seperti ketika akan menyala. Namun, getarannya berhenti jika kabel dilepas dari tangan.

Pulang dari lapangan, si kabel kami perbaiki. Hasilnya tetap nihil, alatnya masih menolak untuk menyala. Fix, rusaknya mungkin di adaptor duga kami. Kami lalu mencoba untuk mencolokkan charger laptop ke alat tersebut karena bentuk dan ukurannya agak mirip. Waktu dicolok ke alat, ternyata tongolannya lebih besar dari lubang yang terdapat di alat jadi tidak bisa masuk dengan sempurna. Meski begitu, dari si alat kami merasakan getaran seperti ia akan menyala. Namun, layar tetap tidak menyala.

Karena aku yang terakhir menggunakan, aku jadi merasa bertanggung jawab untuk mengurusi perbaikannya. Jadi si adaptor dan kabel beserta alat kubawa ke toko komputer, tujuannya untuk mencari charger laptop yang ukurannya sama dengan charger alat tersebut. Sampai di toko komputer, mas-mas yang menjaga toko tersebut bilang, charger laptop dengan besar daya yang sama dengan charger alat tersebut enggak mungkin ada. Nilai output-nya kekecilan untuk laptop. Oleh karena itu, aku minta tolong kabel atau adaptornya aja yang diperbaiki kalau bisa. Si mas menyanggupi. 

Keesokan harinya, ketika aku datang kembali ke toko tersebut, adaptor beserta kabel sudah diperbaiki. Kabelnya sudah rapi dan arus listrik yang terukur sudah sesuai dengan besarnya di adaptor. Namun, saat dicolokkan ke alat, alatnya masih nggak bisa nyala. Duh, piye …. Aku tambah bingung.

Bersama seorang senior di kantor, aku kemudian mendatangi tukang servis alat-alat listrik. Berharap masih kabelnya yang bermasalah. Namun, ketika dicek kabelnya ternyata memang sudah bagus, arus listriknya sudah jalan. Berarti kata si tukang servis, ada sesuatu pada alatnya.

Si alat kemudian dibongkar. Enggak ada hal yang ganjil secara teknis, kecuali baterainya yang mulai aus. Oleh karena itu, aku dan kakak senior mencari baterai yang sesuai besar daya listriknya yaitu baterai tipe chargeable. Bukan barang biasa dan cukup menguras tenaga untuk mencarinya, meskipun akhirnya dapat juga.

Baterai kemudian dipasang dan alat kembali dicoba dinyalakan. Sialnya, sang alat masih ngambek. Duh, harus bagaimana lagi? Kalau membaca manual book-nya untuk servis resmi mesti kirim balik barang ke pabriknya, di US sana. Hoho. Itu enggak mungkin, mahalan biaya ongkir kali ya daripada biaya servis. Lagipala, umur si alat sudah tua. Dari manual book diketahui bahwa pembuatannya pada tahun 2011, sedangkan maintanance untuk alat tersebut tidak pernah dilakukan.

Tukang servis bilang, penyebab satu-satunya yang tersisa adalah IC-nya rusak. Wow, ini bahaya sih. Soalnya smartphone-ku pernah mengalaminya. IC bagi sebuah alat elektronik itu serupa nyawa. Biaya penggantiannya hampir sama dengan biaya beli baru. Karena penasaran, aku bertanya apa penyebab IC rusak. Tukang servis menjawab, bisa karena kepanasan atau si IC pernah ‘kaget’ karena arusnya melebihi yang dipersyaratkan. 

Aku lalu teringat bahwa sebelumnya kami pernah mencoba mencolok alat dengan charger laptop yang jelas daya arus listriknya lebih besar. Boleh jadi sih itu penyebab rusaknya IC dan kalau mau ditilik lebih dalam lagi, alat ini sering digunakan di luar ruangan pada cuaca panas. Padahal kalau mau lebih teliti, di manual book-nya tertera kalau alat ini sebenarnya diperuntukan bagi indoor. 

Si mas-mas tukang servis juga bilang, meskipun alatnya mau nyala, yakin sensornya masih bekerja dengan benar? Kok aku baru terpikir ya. Pernah suatu hari kami menyalakan alat ini di sebuah pertambangan dengan cuaca sangat terik, hasilnya nol semua. Padahal indikasi secara fisik nilai yang seharusnya tertera di layar itu mustahil nol. Dari sana saja sebenarnya sudah ketahuan bahwa sebenarnya alat ini galat. Tidak diragukan lagi, perawatan dan servis berkala adalah kunci utama untuk memperpanjang usia fungsi sebuah alat.

Sialnya, kenapa dia pas ‘tutup usia’ harus dengan aku. Aku jadi panik dan merasa harus bertanggung jawab sendiri jadinya. Belum lagi adanya beberapa klien yang minta pengujian parameter yang dihasilkan oleh alat itu, aku jadi agak merasa bersalah karena harus terpaksa menolak pengujian karena alat rusak. 

Jadi sekarang bagaimana? Aku diminta survei beberapa alat yang fungsinya sama dengan alat ini. Aku jadi bersemangat, meski aku tahu untuk biaya pembeliannya enggak bisa didapatkan oleh kantor dengan mudah. Semoga segera ada jalan keluar untuk permasalahan ini. Supaya aku enggak kepikiran terus dan berhenti merasa sial ketika ada pembicaraan tentang si alat.[]
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar