Baca cerita sebelumnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (II)
Pagi
menjelang dengan indahnya. Suasana di pagi hari di dominasi oleh suara deras
air sungai. Eh, ternyata ada banyak orang yang berbamboo rafting melewati sungai di dekat area perkemahan kami.
Sebelum memulai petualangan, mari kita sarapan pagi dulu |
Sarapan
pagi ini benar-benar disiapkan oleh para cowok. Mungkin karena faktor perut
mereka lapar, jadilah acara memasak pun diselesaikan dengan tangkas khas para
lelaki. Walaupun begitu masakannya kuakui enak, boleh jadi karena faktor perut
yang lapar. Sisa nasi yang ada digoreng karena sayang dibuang dan dijadikan
bekal bagi yang lapar di tengah petualangan hari ini.
Petualangan
hari ini dimulai dengan menyambangi Air Terjun Barajang, tempat yang ternyata
direncanakan sebelumnya akan dijadikan tempat berkemah kami. Oh oh tempatnya
menurutku sedikit mistik karena terdapat kuburan disana dan pernah menjadi TKP
gantung diri. Alamak apa jadinya malam kemarin jika kami berkemah disana dan
mengetahui cerita tersebut? Pasti tidurku tak selelap tadi malam. Meski begitu,
toh keindahan Air Terjun Barajang tak bisa ditutupi. Sejenak kami menikmatinya
sembari duduk-duduk di batu, berfoto, atau bermain air yang sangat dingin dari
tepi sungainya.
Dari
Air Terjun Barajang, kami berjalan kaki menuju Air Terjun Hanai yang rutenya
susyeh banget. Harus hati-hati dan mengandalkan pijakan kaki yang mantap di
tebing curam. Di sebelah kanan ada sungai berair deras yang berasal dari air
terjun yang akan kami datangi. Akhirnya tibalah kami di lokasi air terjun yang
katanya pernah menjadi salah satu tempat syuting FTV di salah satu TV swasta.
Well, dimana-mana air terjun memang selalu indah. Dari 3 air terjun yang kami
datangi, semuanya sama tidak terlalu tinggi. Yang membedakan Air Terjun Hanai
dengan 2 air terjun sebelumnya yaitu area “kolam” sungainya yang lebih luas.
Otomatis, jarak antara kami berdiri dengan air terjunnya cukup jauh kecuali
kalau kamu mau berenang mendekatinya. Suasana di sekitar air terjunnya pun
sangat indah. Bonusnya lagi waktu kami kesana tak ada wisatawan selain kami.
Jadilah air terjun ini seperti berada di lembah terpencil yang tepat untuk
menenangkan diri.
Air Terjun Riam Hanai |
Dari dua lokasi air terjun ini menuju ke tenda kami mampir sebentar ke rumah warga yang menjual oleh-oleh khas Loksado yaitu gelang dan cincin yang dianyam dari jenis tumbuhan yang aku lupa namanya. Kebetulan pula saat itu bapak penjualnya sedang menganyam, kami pun merubung untuk melihat proses pembuatannya. Sekalian minta izin mengambil foto. Beruntung bapaknya ramah, selain membiarkan kami melihat penganyaman beliau juga memperlihatkan bahan baku daun (atau bagian tumbuhan) yang dijadikan gelang. Selain gelang juga ada kalung dan cincin berbagai ukuran. Beberapa anak ada yang beli, aku sendiri kurang tertarik. Sebenarnya waktu di balai informasi kami hendak mampir, karena disana juga ada penganyam gelang. Tapi yang unik disana ukuran gelangnya disesuaikan dengan ukuran pergelangan tangan kita, karena dianyam langsung di tempat. Kita juga bisa memilih warna dan model. Sayang, waktu kita hendak mampir antrian yang ingin dibikinkan gelang banyak sekali jadilah kita hanya mampir ke rumah warga yang berjualan gelang sudah jadi.
Oleh-oleh khas Loksado, gelang anyaman |
Bapak penganyam gelang |
Kembali
ke dunia nyata, perjalanan masih dilanjutkan dengan melewati jalan tanpa aspal
kembali seperti kemarin. Kami yang jalan kaki merasa lebih enteng dan lebih cepat
sampai. Tapi bagi para cowok yang membawa sepeda motor, inilah puncak
petualangan kami selama 32 jam. Jika kemarin jalanan menurun, sekarang kami
harus melewati tanjakan tanpa aspal nan becek tersebut agar sampai di
perbatasan dengan sukses. Sekitar selama satu jam adegan saling bantu tarik motor oleh para
cowok berlangsung. Mengapa motornya harus ditarik? Fyi, di satu tanjakan yang sangat
curam dan tinggi, ban motor tak mampu lagi menggelinding dengan baik karena telah
tertutup tanah becek. Jalanan yang licin dan becek pun membuat motor seperti
sapi dengan kaki patah. Satu-satunya jalan adalah dengan menariknya menggunakan
tali tenda. Dua orang menarik, satu memegang stang motor agar ban terarah, dan
dua lainnya mendorong dari belakang. Untuk menaikkan satu motor diperlukan
waktu sekitar 20 menit. Hitung saja total waktu yang dibutuhkan dengan jumlah
motor 6 buah, itu belum termasuk waktu istirahat karena nafas yang hampir
habis.
Semangat vroh |
Kami
yang perempuan sebenarnya tidak menyaksikan adegan tersebut karena kami disuruh
berjalan kaki terlebih dahulu dan beristirahat ketika sudah sampai di
perbatasan. Namun saat melihat para cowok yang kelelahan saat beristirahat,
terbayang kok bagaimana capeknya mereka berjuang melewati medan berat jalan
pintas tersebut. Nasi sisa sarapan pagi yang digoreng dan dibawa sebagai bekal
pun ludes dimakan tanpa lauk oleh para ksatria ini. Perjuangan yang setimpal
untuk memangkas jarak. Kalau lewat Kota Kandangan ke Loksado dari Barabai boleh
jadi kami menempuh dua kali lipat jarak yang kami tempuh sekarang.
Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini setelah lewat jalan aspal di Desa Kindingan, masuk Desa Batu Panggung kami belok kanan, dimana aku pernah lewat saat pengambilan sampel dulu. Dari muara belokan desa tersebut sekitar 9 km menuju Desa Bulayak. Untuk sampai kesana kami melewati Desa Ambilik dan Desa Pasting yang tepat terletak di tengah-tengah pegunungan karst (batu kapur). Di Manggasang, kami mampir untuk memandikan sepeda motor yang berlumpur. Sama orangnya juga sih. Kami yang cewek duduk santai saja sambil menonton. Lagi-lagi karena hari libur, suasana yang semula sunyi, kemudian hingar bingar karena para pelancong mulai berdatangan.
Pegunungan Karst di Desa Pasting |
Dari
sana kami kembali ke sekolah lewat Desa Aluan dan Tanah Habang. Setelah selesai
urusan beres-beres barang di sekolah, kita pun berpisah dengan anggota tim.
Tapi aku dan suami tak ingin bergegas pulang karena kami ingin mengisi perut
yang keroncongan terlebih dahulu. Jam 3 siang boleh dikatakan adalah akhir dari
petualangan kami, meskipun sebenarnya jam 4 sore kami baru benar-benar tiba di
rumah. Aku menghitung total perjalanan dari Loksado sampai ke rumah (hanya) sekitar
60 km. Benar-benar 32 jam petualangan
yang seru. Terima kasih suamiku telah memberikan kado menyenangkan di tanggal
merah kali ini.
Motor dan pengemudinya mencuci diri |
jalaannya terjal banget ya , duh serem ya
BalasHapusIya Mbak, seram dan terjal 😰
Hapuswah mantap anak Adventure!
BalasHapusSalam adventure!
BalasHapus