Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Refleksi Munas 6 FLP: Sebuah Perjalanan Kembali

Posting Komentar

Aku kenal FLP dari majalah Annida saat SMP. Aku sangat terpukau dengan tulisan-tulisan dari penulis FLP yang ada di majalah tersebut. Saat itu belum terbayang bagaimana aku bisa bergabung dengan organisasi ini, karena aku tinggal di pelosok yang minim akses terhadap literasi. Namun, jalan hidup kemudian mengantarku ke FLP bertahun-tahun kemudian saat berkuliah di Kota Banjarbaru. Sejak saat itu, aku memulai perjalanan menjadi bagian dari sebuah keluarga besar FLP. 


Empat belas tahun setelahnya, hari ini, aku baru saja selesai mengikuti perhelatan Munas ke-6 FLP di Surabaya. Ada banyak hal yang terjadi di antaranya. Sejak diumumkan akan ada Munas di bulan Oktober, aku langsung mendaftar tanpa ragu. Aku sudah memperhitungkan bahwa aku akan bisa menghadirinya karena posisinya aku sedang di Jogja dalam rentang waktu tersebut. Secara teknis, jauh lebih memungkinkan daripada jika aku sedang berada di rumahku, Kalimantan Selatan.



Hanya saja, satu bulan sebelum munas aku baru menyadari bahwa di tanggal pelaksanaan acara tersebut adalah masa UTS-ku. Aku langsung mengatur strategi. Dengan berbagai penyesuaian yang tidak mudah, aku akhirnya merampungkan UTS lebih cepat daripada seharusnya agar bisa berangkat ke munas dengan lebih leluasa. 


Jika bersedia jujur, sebenarnya rasa yang bergejolak sebelum berangkat munas adalah perasaan not good enough. Tiga pilar FLP adalah kepenulisan, keorganisasian, dan keislaman. Aku menilai diriku tidak sedang dalam fase yang berkualitas untuk ketiga hal itu. Namun aku mencoba untuk percaya diri. 


Aku tahu di munas nanti aku akan bertemu dengan banyak orang hebat. Alih-alih insecure, aku memilih untuk menerapkan mindset: saat kita menjadi orang yang paling tidak tahu di suatu komunitas, maka kita adalah orang yang paling beruntung karena bisa menyerap informasi dari semua orang hebat di sekitar kita. Itu yang selalu aku terapkan saat berada di sebuah lingkungan baru. Akhirnya aku berangkat ke munas dengan misi untuk belajar dan menyerap informasi dari orang-orang hebat ini. Itu jauh lebih meringankan.


Aku ingin belajar dan menemukan kembali ghiroh yang sempat memudar. Aku ingin kembali memantik api dalam diriku.


Ini bukan kali pertama aku mengikuti Munas FLP. Tahun 2012, untuk pertama kalinya aku mengikuti perhelatan akbar ini sebagai seorang newbie. Ada beberapa perbedaan yang kurasakan dan aku menyadari waktu adalah faktor utama dalam hal ini. Sekarang aku melihat banyak hal dari kacamata dari orang ‘dewasa’ dan lebih luwes saat berinteraksi dengan orang baru. Aku bahkan hanya sendiri mewakili wilayahku, qadarullah dua teman yang semula juga ingin ikut munas mendapat uzur yang tak kalah penting. Tahun 2021 aku juga mengikuti munas, tapi karena secara daring jadi kesannya kurang terasa.


Meski terdapat beberapa perbedaan dari sudut pandangku dalam mengikuti munas dulu dan sekarang, tapi ada satu yang terasa masih sama yaitu rasa kagum kepada para penulis senior di FLP. Perasaan senangku sangat kentara saat bertemu dengan para pembesar FLP, rasanya seperti bertemu dengan idola. Boleh dibilang karya mereka adalah penyelamat masa remajaku. Selain didikan orang tua, karya-karya mereka adalah penuntun yang sedikit banyak mempengaruhiku dalam mengambil keputusan. Meski kebanyakan karya yang kubaca adalah fiksi tapi nilai-nilai kebaikan di dalamnya secara tidak langsung menjadi penuntun.


Layaknya fans bertemu idola, sebagian besar dari mereka berhasil kumintai foto bareng karena memang juga se-humble itu. Apalagi dengan memanfaatkan energi kekaguman yang sama dari teman-teman peserta munas lainnya, aku bisa berfoto dengan para idola. Lebih dari foto, kesempatan berbincang dengan beberapa di antara mereka jauh lebih menyenangkan. Satu dua patah kata saling bertukar sapa dan mengenalkan diri membuatku senang sekali.


Ada beberapa nama besar yang tidak ‘berani’ kusapa (sendirian). Rasanya melihat mereka sedekat itu denganku juga sudah lebih dari cukup. Sebenarnya karena lebih ke kesempatannya yang tidak ada atau tidak berani kuambil, aku terlalu takut mengganggu. 


Begitu pun dengan teman-teman penulis lain sesama anggota FLP yang selama ini hanya kukenal lewat media sosial, ada banyak yang kutemui saat munas kemarin. Beberapa di antara mereka, sempat saling bersapa dan mengobrol denganku. Tidak jarang terdengar celutukan, “Oh ini yang namanya …”, saking kita cukup sering berinteraksi di dunia maya tapi baru sekali itu bertemu. Sungguh munas adalah salah satu cara meet up paling efektif di antara anggota FLP. 


Karena aku berangkat sendirian, aku jadi berinteraksi dengan banyak orang baru. Entah dari yang benar-benar asing atau yang sudah kukenal sebelumnya. Aku banyak berinteraksi dengan delegasi dari Kalimantan Timur karena satu kamar dengan mereka. Aku berinteraksi dengan Mas-Mbak dari Blogger FLP karena aku cukup aktif blogging. Btw, buku antologi kita sudah terbit. Aku juga bertegur sapa dengan seorang pemenang Anugerah Pena di event ini karena kenal sebelumnya di komunitas menulis platform online sebelum tahu bahwa kita sama-sama anggota FLP. Aku juga jalan setelah acara dengan Mbak-mbak FLP Malang karena dia kenal dengan teman bloggerku di Kalimantan Selatan.



Aku nge-blend dengan anggota FLP Jogja karena di perjalanan pergi dan pulang aku bareng mereka. Ada pula utusan dari Padang yang baru bertemu secara intens saat perjalanan pulang karena mereka juga mau ke Jogja. Dan masih banyak lagi yang baik sengaja atau tak sengaja aku ngobrol dengan mereka saat acara. Aku senang karena bisa masuk ke dunia dewasa saling sapa dan bertukar kabar ini meski baru pertama kali bertemu.


Semoga munas kemarin bukan kali terakhir aku bertemu dengan mereka. Aku ingin terus berjejaring dengan para penulis hebat ini. Aku juga ingin terus mengambil hal baik dari FLP dan mengimplementasikannya di kehidupanku. Tentu saja, aku pun ingin terus berkontribusi di dunia literasi salah satunya membangun FLP dari daerahku.


Munas kali ini bagiku adalah perjalanan kembali ke diriku yang bersemangat untuk berbakti, berkarya, dan berarti.


Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!
Terbaru Lebih lama

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar