Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Rangga dan Cinta: A Story Review

Posting Komentar

First, tulisan ini penuh dengan spoiler. Tidak disarankan untuk dibaca oleh orang yang nggak suka spoiler. Disclaimer selanjutnya, tulisan ini dibuat oleh seorang penonton AADC di masa remajanya, jadi sangat mungkin ada bias sudut pandang dari sana. Ketiga, aku juga mau bilang bahwa ini bukan review film secara sinematika. Aku hanya yapping tentang isi ceritanya, this is a story review.



Let's start from the character. Karakter Rangga, mohon maaf, jika dibandingkan Nicholas Saputra kurang berasa digambarkan sebagai penikmat sastra. Tapi cuek-cueknya, okelah 11-12. 


Cinta sendiri di sini menurutku sangat childish. Mungkin sebenarnya karakter itu juga muncul pada saat Dian Sastro yang memerankan. Tapi mungkin karena aku menontonnya pada saat itu juga masih remaja, jadi kesan childish-nya kurang berasa. Sekarang mungkin aku terlalu memakai kacamata orang dewasa. Childish yang kumaksud adalah pada saat dia sangat mudah tersulut emosi saat menghadapi Rangga. Waktu di pertandingan basket dan di toko buku. Aku jadi nemu benang merahnya, Cinta selalu tersulut saat Rangga ‘menyenggol’ tentang teman-temannya. Itu konsisten sampai akhir cerita sih dan kalau dipikir-pikir, ‘kesetiakawanan’ menjadi isu besar dalam film ini. 


Aku jadi berpikir, se-rigid itu ya pertemanan Geng Cinta. Nggak fleksibel. Maksudnya, bilang aja nggak sih sama teman-teman atau pasangan kalau ingin menghabiskan waktu dengan yang lain. Harusnya bisa dimengerti (lagi-lagi logika dewasaku memberontak). 


Oleh karena itu aku juga sedikit agak terganggu saat Rangga bilang di toko buku kalau pertemanan menghalangi kebebasan diri sendiri. Maksudku, dingertiin dulu kek kalau Cinta memang kulturnya berteman banget terus baru diajak kalau memang masih mau jalan sama dia. Eh malah berantem. Tapi ini juga konsisten sampai akhir. Bahkan hingga versi dewasa pada AADC 2, isu Rangga selalu tentang menghindari pertemanan yang bergerombol.


Karakter dan latar belakang Rangga cukup dieksplor di film ini, beda dengan di AADC, seingatku tidak sebegitunya. Ketidaksukaannya pada lingkungan sosial mungkin lahir dari ibunya yang meninggalkan ia dan ayahnya, lalu dari perlakuan orang-orang pada ayahnya yang dianggap beraliran kiri. Ada dua scene yang menggambarkan bahwa Rangga dan lingkungan sosial sekitarnya tidak akur: ayam segar yang baru disembelih dan meledaknya bom molotov di depan rumah. Tidak disebutkan secara jelas alasan kepindahan Rangga ke Amerika, tapi sangat mungkin karena secara sosial ia dan ayahnya tidak nyaman hidup di Indonesia.


Itu pula mungkin menjelaskan mengapa Rangga agak terlihat biasa saja dikata-katain cinta waktu di pertandingan basket mengenai ketidaksukaannya berada di banyak orang, karena ya dia sudah terbiasa. Kata-kata Cinta sangat pedas menurutku, “Terus salah siapa, salah gue, salah teman-teman gue? kalau kamu nggak suka ada di orang banyak kayak gini?” terucapkan di sini. Aku kalau berada di posisi Rangga sangat tersinggung sih. 


Tapi Rangga ternyata jauh lebih sakit hati dengan ucapan Cinta di perpisahan unofficial mereka yang bilang kalau Rangga sudah mengubah Cinta dengan konotasi ke arah lebih buruk. Iya ya, siapa juga yang senang mendengar dirinya dikatakan telah mengubah orang yang ia cintai menjadi lebih buruk. Jadi nyalahin diri sendiri juga jatuhnya.



And hey, menurutku yang menjadi highlight film ini adalah masalah si Alya sebagai anak dari orang tua yang bermasalah, yang sedikit banyak berimplikasi terhadap hubungan Rangga dan Cinta. Kubilang menjadi highlight karena aku relate dengan cerita-cerita seperti ini di kehidupan dewasa. Trauma di dalam rumah sangat mempengaruhi bagaimana seorang anak tumbuh. Untung Alya dikelilingi oleh pertemanan yang cukup suportif meski tidak mungkin bisa sempurna. Aku juga memahami bagaimana perasaan Alya yang sungkan membebani para sahabatnya dengan masalah di rumah. 


Gimana feel romance-nya? Mereka masih sangat muda, ini membuatku di awal-awal film merasa cringe. Baru sejak di perempat waktu kedua, aku mulai bisa terbawa oleh akting mereka. Okelah, logis terjadi di masa remaja.


Bagian favoritku ada pada surat Cinta kepada Rangga yang berbunyi, “Gema lebih besar dari suara aslinya.” Itu metafor banget sih. YTTA. Favoritku lainnya adalah saat Rangga memainkan piano, dua kali. Satu saat bersama Cinta. Dua saat mereka terpisah dan sama-sama sedih. Itu scene romance yang paling ngena. Puisi Rangga (dan musikalisasinya) “kulari ke hutan …”, itu masih selalu menjadi bagian favoritku dari dulu hingga sekarang, termasuk versi film ini.


Membicarakan musik, film ini memang dibangun oleh musik. Aku sendiri sudah sangat akrab dengan soundtrack film ini. Versi lama, maupun versi baru. Kecuali lagu-lagu dalam beberapa drama musikalnya: pembukaan, penutupan, dan yang dimainkan oleh Rafi Sudirman and the gank pada saat menindas Rangga. Ketiganya masih asing di telingaku. Ada beberapa musikal yang agak bikin kaget, yaitu saat Cinta misuh-misuh nggak terima ‘ditolak’ oleh Rangga. Terus musikal yang dimainkan oleh teman-teman Cinta saat merasa Cinta menjauh, itu cukup bikin aku ‘kaget’ sih. 


Boleh ngomongin tentang pengambilan gambarnya sedikit ya. Aku suka wajah para pemeran dibuat sederhana, nggak full make up. Sebagaimana sesuai tuntutan adegan saja. Aku juga mengapresiasi usaha para kru film untuk membuat agar latar waktunya terlihat seperti sekitar awal tahun 2000-an, baik dari segi tempat, sarana prasana, ataupun wardrobe-nya. Pasti tidak mudah.


Terakhir, di film ini jawaban dari pertanyaan ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ bisa ditemukan dengan mudah, yaitu ego dan gengsi yang dirasakan oleh Cinta, baik ke Rangga maupun ke teman-temannya yang membuat jalan cerita mereka berbelit hingga akhir. []


Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar