Pada liburan kemana akhir tahun kemarin? Keluar
kota atau bahkan keluar negeri? Aku dong liburan di dekat-dekat saja, bangga
banget yak. Selain karena mendadak, budget
terbatas, juga karena waktu yang tersedia cuma weekend. Itu pun masih ‘perlu’ bolos kerja di hari Senin karena
terjepit dengan tanggal 1 Januarinya yang jatuh pada hari Selasa.
Kali ini aku travelling
bareng teman sekantor. Enggak bosen gitu, lo lagi lo lagi? Enggaklah, karena teman-teman kantorku orangnya
asyik-asyik dan seumuran gitu. Mungkin juga karena faktor merasa senasib
sepenanggungan di kerjaan, jadi pengen senang-senang (baca:kelayapan) bareng
juga.
Destinasi wisata yang kami pilih kali ini adalah
Pulau Kembang. Bukan objek wisata baru sih,
kami memilihnya karena sebagian besar dari kami belum pernah ke sana. Secara
administratif, Pulau Kembang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Barito Kuala,
Kalimantan Selatan. Namun, starting point
biasanya dari Kota Banjarmasin.
Rute ke Pulau Kembang
Well, kami
sendiri kemarin bertolak dari Siring Pierre Tendean Banjarmasin. Yup, kami
menentukan meeting point di sana
setelah sebelumnya menginap di beberapa tempat yang berbeda. Fyi, kota tempatku berdomisili berjarak
sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Sedangkan waktu paling oke berwisata
susur sungai ke Pulau Kembang adalah pagi hari. Oleh karena itu kami berangkat
sejak satu hari sebelumnya dari rumah.
Di dermaga yang terdapat di tepi Sungai Martapura
tersebut terdapat penyedia jasa kelotok atau kapal yang bisa membawa wisatawan
ke Pulau Kembang. Ada beberapa tarif yang tertulis di sana sesuai tujuan, aku
lupa detailnya. Yang jelas saat itu kami memilih menyewa satu kapal tujuan
Pulau Kembang dan Pasar Terapung Kuin untuk 11 orang dengan harga 450K. Aku dan
teman-teman berdelapan, sisanya ada keluarga kecil yang terdiri atas pasangan
muda dan satu putera kecil mereka.
Sebenarnya ukuran kapal yang kami sewa cukup
besar, muat untuk lebih dari 20 orang. Biayanya juga mungkin lebih murah karena
bisa dibagi dengan banyak individu. Tapi kami senang-senang saja bisa
‘menguasai’ kapal dengan waktu yang tidak terbatas. Kapal lain dengan ukuran
sama, yang kami temui di perjalanan, setidaknya diisi sekitar 30 orang. Mereka
sepertinya naik ke kapal tersebut dengan sistem ‘jika penuh berangkat’, macam
angkot yang ngetem. Dengan sistem seperti itu, biaya mungkin lebih murah. Cocok
bagi yang berwisata sendirian atau hanya berdua.
Penghuni kapal 'eksekutif' |
Sepuluh menit pertama perjalanan susur sungai ke
Pulau Kembang membawa kami melewati sungai-sungai kecil di pusat Kota
Banjarmasin. Aku dan teman-teman berusaha mengingat-ingat, ini di jalan apa ya
karena letak sungainya persis di sebelah jalan. Jadi kami lewat tepat di
belakang rumah penduduk. Aku pernah baca jurnal tentang konsep Water Front City. Dulu, katanya bagian
depan rumah penduduk di Banjarmasin menghadap ke sungai karena sungai memang
merupakan jalur transportasi utama. Persis seperti jalan beraspal zaman
sekarang. Namun, dengan berkembangnya jalur darat sekarang rumah penduduk
sebagian besar sudah menghadap ke arah jalan tidak lagi ke sungai.
Efeknya, sungai kemudian dianggap menjadi ‘halaman
belakang’ yang bisa diabaikan kebersihan dan keindahannya. Hal ini masih banyak
terlihat waktu kami susur sungai kemarin. Beruntungnya, sekarang sudah ada
program kampung wisata berupa Kampung Hijau di Sungai Bilu, Banjarmasin. Jadi
bagian belakang rumah penduduk dicat berwarna dominan hijau untuk memperindah
pemandangan di sepanjang tepi sungai. Harus dong ya, karena wisata paling
menjual di Banjarmasin itu kan susur sungai ini. Selain itu agar slogan
Banjarmasin Kota Seribu Sungai juga tidak tercederai dengan penambahan kata
‘kotor’ di belakangnya.
Ada banyak jembatan yang kami lewati kolongnya di
sepuluh menit pertama perjalanan susur sungai. Jadi setiap ada jembatan di
depan, paman pengemudi berteriak ‘turun!’ dari belakang setirnya. Pasalnya,
kami senang duduk di atap perahu dan kursi di buritan kapal yang agak tinggi.
Kalau ngeyel, kepala bisa kena bagian bawah jembatan. Aku berpikir, gimana ya
kalau permukaan air sungai sedang tinggi sehingga ruang yang tersisa antara
permukaan air dan bawah jembatan tidak muat untuk dilewati kapal? Dari kayu
ulin penopang jembatan aku melihat bekas batas permukaan air yang cukup tinggi.
Sayang, aku tak sempat menanyakannya ke paman pengemudi.
Dari sungai yang sempit, akhirnya kami tiba di
sebuah persimpangan. Seperti jalan juga, di sungai ada rambu-rambunya. Kalau
terus, kurasa kami akan tiba di hulu Sungai Martapura. Tapi kemarin itu kami berbelok
kiri yang tak lama kemudian mengantarkan kami ke sebuah muara sungai luas nan
lebar. This is Sungai Barito! Mengingat
tidak akan ada lagi jembatan yang mengancam, kami pun ramai-ramai menikmati
pemandangan sungai ini dari atap perahu. Sambil mengambil foto tentunya.
Sejauh mata memandang yang ada hanya air dan air.
Saat itu sebenarnya aku agak takut mengingat info tentang gelombang tinggi yang
terdapat di laut bagian selatan Kalimantan. Well
ya, waktu itu masih hangat kabar bencana Selat Sunda. Aku berdoa di dalam
hati agar kami semua selamat hingga pulang. Aku yang antisipatif ini mulai
merekam di mana letak live vest agar
ingat jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Alhamdulillah, tidak ada kejadian yang
berarti. Ombak cukup bersahabat saat kami berlayar di atasnya.
Kami lewat di sisa-sisa Pasar Terapung Kuin. Ya,
sisa-sisa karena hanya terdapat satu dua kelotok dengan muatan yang sudah mulai
habis akibat transaksi dengan para pembeli. Waktu masih sekitar 7.30, berarti
jam aktif pasar tradisional ini berkisar dari setelah salat Subuh hingga kurang
dari jam 7. Itulah mengapa kami memilih berangkat pagi-pagi walaupun pada akhirnya
tidak berjumpa dengan destinasi tersebut.
Welcome in Pulau Kembang!
Sementara itu, Pulau Kembang sudah mulai
kelihatan. Menara pantaunya yang seperti mercusuar terlihat mencolok menandakan
pulau tujuan sudah dekat. Ngomong-ngomong, menara tersebut mengingatkanku pada
Aquaman. Haha. Perlahan tapi pasti, kapal yang kami tumpangi merapat ke dermaga
Pulau Kembang. Kami pun melompat dari atap kapal agar bisa menginjakkan kaki di
pulau para monyet ini.
Hah, monyet? Yup, Pulau Kembang terkenal karena
keberadaan monyetnya sebagai penghuni. Dulu mungkin populasinya sangat banyak
sehingga orang-orang notice dengan
keberadaan mereka. Meski ketika aku berkunjung kesana kemarin, jumlah monyet
yang muncul tidaklah luar biasa. Kelak ketika kuceritakan pada mama tentang
kunjunganku ke sana, beliau tertawa. “Mending ke kebun karet punya mama, di
sana banyak sekali monyet nakal yang suka mencuri air minum dan bekal makanan,”
kata mama. Hiks.
Selamat datang, Gaes! |
Yah, ekspekstasi memang tidak melulu sesuai
harapan. Berharap bertemu banyak monyet, malah zonk. Btw, waktu menulis
ini aku baru kepikiran. Nama dan ciri khas pulau ini sama sekali enggak
nyambung. Tak ada sedikit pun kembang atau bunga yang tumbuh di pulau ini,
setidaknya yang terlihat di mataku. Kenapa namanya tidak Pulau Monyet saja ya?
Duh, aku lupa menanyakannya ke tour guide
waktu di sana.
Oya, jangan dibayangkan tour guide-nya bapak-bapak atau adik-adik remaja ya. Di Pulau
Kembang, tour guide-nya emak-emak
tulen pakai tongkat guna mengusir monyet yang nakal. Para ibu tour guide ini langsung mengikuti para
pengunjung yang masuk ke Pulau Kembang tanpa diminta. Mereka menjelaskan ini
itu selama di perjalanan dan lumayan buat jadi juru foto. Di akhir perjalanan,
mereka akan meminta fee seikhlasnya.
Selain menjadi tour guide, acil-acil yang
ada di sana juga berjualan makanan kesukaan monyet seperti pisang dan kacang.
Para pengunjung biasanya membeli untuk merasakan sensasi memberi makan monyet
langsung di habitatnya.
Jadi setelah mendarat di dermaga Pulau Kembang,
kami membayar tiket masuk sebesar 5 ribu rupiah per orang. Kami kemudian
disambut oleh jembatan-jembatan dari kayu dan batu sebagai pijakan. Ternyata di
Pulau Kembang ini tanahnya berupa rawa Gaes, sehingga tidak memungkinkan untuk
diinjak secara langsung. Para wisatawan yang berkeliling di sini mau tak mau
jadinya mengikuti jalur yang terdapat di atas jembatan batu atau kayu ini saja.
Di bagian depan setelah pintu masuk terdapat
bangunan semacam gazebo. Ada dua patung monyet berwarna putih disertai
kain-kain berwarna kuning di atas meja yang berada di tengah-tengah bangunan.
Seorang teman melongok ke bagian belakang patung, ternyata ada semacam sesajen
berupa kopi dan tetek bengeknya. Jadi agak mistis kalau melihat yang seperti
ini.
Perjalanan dimulai, kesan pertama yang kutangkap
dari Pulau Kembang adalah ekosistem mangrovenya yang mendominasi. Akar-akar
napasnya muncul di permukaan tanah yang berair. Entah di bagian dalam pulau
ini, apakah tumbuhan mangrove juga masih banyak atau ada tumbuhan lain yang
juga mendominasi. Karena kurasa, berwisata di Pulau Kembang hanya mengitari
salah satu sisi terluar pulaunya saja, tidak sampai masuk apalagi mengelilingi
seluruh pulau.
Kesan lain yang kutangkap dari pulau ini adalah
banyaknya sampah plastik bekas kemasan kacang atau camilan lain. Mungkin para
pengunjung memberi makan monyet beserta bungkusnya ya sehingga sang monyet yang
memang tidak pernah tahu bagaimana cara membuang sampah yang benar
melemparkannya sembarang. Kalau kulit kacang atau kulit pisang, okelah itu
masih bisa terurai. Tapi sampah plastik? Ini menurutku merupakan PR besar bagi
para pengelola untuk membuat Pulau Kembang menjadi lebih bersih.
Ngomong-ngomong tentang makanan monyet, ada sebuah
tempat khusus di Pulau Kembang yang sepertinya berfungsi sebagai tempat memberi
makan monyet. Waktu kami lewat, di sana bertebaran makanan monyet entah apa
berbentuk bulat-bulat berwarna putih. Ketika lewat untuk yang kedua kali, aku
tak tahan untuk memeriksa sendiri apa sebenarnya jenis makanan yang berserakan
ini. Dalam jarak dekat, akhirnya aku mengenali jenis makanan ini yaitu camilan
bernama pilus yang berbentuk seperti kacang telur tapi tidak ada kacangnya.
Hujan yang mungkin datang sebelumnya membuat ukurannya
membesar karena menyerap air. Melihat jumlahnya yang banyak terhampar tersebut,
aku yakin para monyet enggak terlalu suka camilan manusia ini. Apalagi pas kami
di sana, tak satupun monyet yang sedang nongkrong di tempat khusus makan
tersebut. Kayu yang menjadi lantai tempat tersebut juga agak bolong-bolong,
sehingga ketika memeriksa ke sana kami harus memilih pijakan dengan hati-hati.
Menurutku harus ada ‘renovasi’ di Pulau Kembang
ini agar wisatawan yang datang ke sana semakin banyak lagi. Entah dari segi
kebersihan atau fasilitas, jika dikelola dengan lebih ‘kekinian’ aku yakin
geliat wisata susur sungai ke pulau ini akan semakin meningkat. Mengenai
fasilitas, beruntungnya di sana toilet umumnya cukup bersih sehingga pengunjung
tidak kesusahan jika ingin buang air.
Di antara rimbunnya mangrove Pulau Kembang |
Setelah berkeliling singkat, karena lokasinya juga
tidak terlalu luas, kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan kami di Pulau
Kembang. Mbak-mbak dari keluarga kecil yang sekapal dengan kami bilang ke kami
kalau ada penawaran khusus dari si paman pengemudi, karena tadi kami tidak
sempat melihat Pasar Terapung Kuin. Hanya dengan 600K, kami bisa berkunjung ke
satu pulau wisata lagi. Pulau Bakut namanya. Aku dan teman-teman setuju saja,
apalagi ketika si mbaknya bilang jika mereka akan bayar 200K dan kami sisanya.
Terhitung hanya 50K perorang untuk membayar wisata susur sungai ke dua pulau.
Seru kan ceritaku tentang wisata susur sungai ke Pulau Kembang. Tunggu ceritaku tentang wisata susur sungai ke Pulau Bakut di postingan selanjutnya ya.[]
Seru banget ya😇😍
BalasHapusWah... Emak-emak memang strong ya. Jadi tour guide segala. Sayang nggak ada foto sama mereka nih. Jadi penasaran ^^
BalasHapusKenapa namanya pulau kembang mba??
BalasHapusAh sayang ya banyak sampah. Jadi merusak pemandangan. Andai bersih pasti lebih nyaman
BalasHapusBeberapa tahun lalu aku juga pernah ke pulau kembang ini. Memang monyetnya nggak banyak-banyak banget sih ya. Tapi pas jalan di titian itu tetap aja agak takut pas ada monyet di tengah jalan. Heu
BalasHapusyesss..pulau kembang yaa..aku baru2 ni ada juga sekeluarga kesana. per org 35rb hehehe..kalau dibawah 10 thn gratis. hehe..mayan bedua suami cuman 70 rb .anak2 gratis.tapi seruu tuh piknik bareng temen kantor euy..
BalasHapusJadi kangen naik klotok. Kalo ke pulau kembangnya, aku agak trauma dengan monyet. Truma masa kecil. Waktu ke Bali dulu, ada monyet yang pernah nggandulin kepalaku. Entah apa yang disasarnya, ikat rambutku yang ada hiasan bonekanya kah atau kacamataku kah. Pokoknya trauma....
BalasHapusaku belum susur sungai, huhu..Wah baru tau jadi dulu teras rumah penduduk arah ke sungai ya. sekarang sudah bagian belakang rumah yang kesungai, berasa gak enak diliat sih sebenarnya karena ada yang buang sampah rumah tangga dan sampah lain nya, wkwkk...coba yaa seandainya teras nya ada dua didepan dan belakang
BalasHapusAduh aku gemes banget soal pengunjung yang buang plastik sembarangan itu. Kadang peraturan yang sengaja sudah ditempel pakai huruf besar-besar juga tidak diindahkan. Bingung juga ya ini PR besar di semua tempat wisata :(
BalasHapusDuh aku uda lama banget gak susur sungai, padahal deket ya. Sekian tahun. Gara2 anak krucil2 ini papah nya takut kecebur dsb bahaya. Hahaha.. Padahal penasaran juga sama kampung hijau itu
BalasHapusKirain kalau Pulau Kembang bakal banyak Kembangnya. Hahaha.. Ternyata banyak mangrove-nya yaa.. Seru emang, jalan-jalan sama temen kantor. Apalagi kalau udh kerja gini, temen deketnya ya temen-temen kantor. Hehehe
BalasHapusKirain Pulau Kembang bakal banyak kembangnya bermekaran. Ternyata banyak mangrovenya yaa.. :D
BalasHapusKalau susur sungai gini emang enaknya berbanyak orang biar bisa patungan bayarnya. Itu mangrove berarti udah rimbun banget ya Mbak. Dan aku udahi saja ke hutan yg banyak monyetnya. Mereka agak galak, segala macam diambil
BalasHapusUntuk biaya tour guide si mamak-mamak tadi berkisar berapa kak?
BalasHapusDi Pulau kembang apa ada penginapan? Terus apakah selama menyusuri pulau kembang perahu yang mengantar akan menunggu kita? Atau kita akan naik perahu yang berbeda saat pulang?
yeayy kalimantan memang banyak surga wisata tersembunyi. Lanjutkaaan!
BalasHapusBagus ya Mbak sebenarnya, apalagi ada bakau nya. Coba disampaikan sama pengurus wisata agar memperhatikan kebersihan dll
BalasHapusAsyiknyaa...
BalasHapusBerpetualang bersama sahabat.
Enaknya jalan rame-rame tuhh gini yaa...
Susah - senang ditanggung bersama.
Termasuk biaya sewa kapal, jadi lebih murah meriaaah.
Wuah liburan bener sih ini
BalasHapusEnak banget kalo seharian susur sungai dan jelajah sekitar
Kapan ya di Lumajang ada susur sungai kayak gini juga...
Oh jd kalau mau liat transaksi di pasar Kuin harus pagi2 bener ya mbak?
BalasHapusAku termasuk yang takut dengan susur sungai di Kalimantan soalnya gak kyk di JAwa, sungai di Kalimantan lebar2 gede2 hehe
Wisata yang seruuu...harga tiket masuk gak mahal ya mbak, terjangkau. Kebayang kalau dinamain pulau monyet, jadi seram gak mbak....
BalasHapusRefreshing sambil lihat yang ijo-ijo sama air, bikin hati jadi adem ya.
BalasHapusAduh Mbak kenapa banyak yang lupa ditanyakan? Hahaha. Aku pun kadang gitu juga sih :)
BalasHapusIya penasaran kenapa namanya Pulau Kembang bukan Pulau Monyet.
Soal guide yg emak-emak bawa tongkat, bikin ketawa sekaligus emmm.. gimana ya.. menurutku lebih baik para remaja aja kali ya :)
Penghuni kapal "eksklusif" nya cantik2 banget..
BalasHapusRefreshing naik kapal gini seru pastinya..apalagi kalo baru tau atau pengalaman pertama....
Menyusuri sungai...alami banget..ah jadi pengen ngikut juga .