Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Jalan Ninja Seorang Introvert

29 komentar

Aku adalah seorang introvert. Orang yang tidak benar-benar kenal aku mungkin tidak menyadarinya. Introvert lekat dengan sifat tertutup, pemalu, suka menyendiri, kurang percaya diri, and so on. Beberapa sifat tersebut sebagian besar tidak tampak padaku.



Aku bisa dengan cukup santai ngomong di depan orang banyak. Kadang bicaraku blak-blakan, cara tertawaku juga sama sekali tidak anggun. Aku juga suka jalan-jalan, kegiatan yang kadang dihindari orang introvert agar tidak bertemu orang banyak. Aku juga suka berkomunitas dan tidak masalah tampil di atas panggung.

 

Terlihat seperti extrovert ya?

 

Orang-orang tidak tahu saja jika di balik itu semua, ada energi ekstra yang kukeluarkan untuk bertahan. Pada kenyataannya aku juga tidak terlalu nyaman berada di tengah banyak orang. Secara pribadi, aku hanya bisa dekat dengan 4-5 orang di luar anggota keluarga. Sebenarnya orang-orang lain pun mungkin juga begitu tapi mereka tak menyadari.

 

Jumlah maksimal yang bisa kutolerir mungkin sekitar 10 orang dalam satu waktu untuk aku merasa nyaman dalam pembicaraan tidak profesional. Jumlah lebih di atas itu, akan membuat energiku lebih cepat draining out.

 

Setelah membaurkan diri dengan orang banyak, biasanya aku butuh waktu untuk sendirian dulu di suatu tempat, paling sering adalah di kamar. Ngapain saja, tidur, nonton, membaca, atau menulis. Me time. Itu me-recharge energiku banget. Energi yang tadinya terkuras setelah berinteraksi dengan orang banyak bisa jadi hijau lagi setelah melakukan hal-hal tersebut.

 

Jalan-jalan sendiri menurutku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sifat introvert atau extrovert. Seorang introvert juga sangat bisa menjadi traveller, mungkin dengan cara solo travelling atau hanya berpergian dengan orang(-orang) yang membuat ia nyaman. Tempat yang tidak ramai juga bisa dipilih untuk mengakomodir si introvert, meski bagiku pribadi itu tidak masalah.

 

Dengan naluri introvert aku bisa merasa damai dan sendirian di tengah banyak orang asing, itu yang biasanya kurasakan ketika mengunjungi sebuah tempat wisata yang ramai. Esensi dari sebuah perjalanan bagi seorang introvert juga bisa menjadi pembahasan panjang tersendiri yang semakin menguatkan bahwa introvert dapat melakukan perjalanan tanpa terganggu dengan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman.

 

Bergabung dalam suatu komunitas sendiri dapat membuatku merasa menjadi lebih berisi. Umumnya orang-orang dalam satu komunitas kan terkumpul karena minat yang sama. Aku tidak mungkin dong masuk komunitas yang sama sekali tidak aku sukai, pastilah aku memilih komunitas seperti pembaca buku, penulis, blogger, atau traveller. Ada banyak informasi bermanfaat yang kubutuhkan dan relate dengan kehidupanku yang beredar di dalam komunitas yang kuikuti.

 

Itu sama sekali tidak mengganggu kenyamanan introvert-ku. Apalagi sekarang, berkomunitas bukan tentang kehadiran fisik tapi lebih ke partisipasi digital. Yang menandai ke-introvert-anku mungkin hanyalah ketidakaktifanku dalam obrolan-obrolan ringan di luar bahasan komunitas. Bukan karena tidak ingin, tapi karena butuh waktu dan energi ekstra bagi seorang aku untuk meleburkan diri dalam kelompok orang asing dan membahas hal-hal random.

 

Mengapa aku melakukan hal yang tidak biasa dilakukan oleh banyak orang introvert?

 

Satu, karena pengaruh lingkungan. Aku dibesarkan dalam keluarga besar yang hampir semuanya memiliki sifat extrovert. Masing-masing anggota keluargaku juga terbiasa show off, sehingga tidak ada celah untuk minder atau tidak percaya diri. Di rumah sejak kecil apresiasi yang keluarga berikan terhadap pencapaian sekecil apapun cukup bagus sehingga membentuk pribadiku yang sekarang.

 

Dua, aku merasa tidak ada salahnya keluar dari zona nyaman toh sebagian besar karakter tersebut kuperlukan untuk kehidupan sosialku. Tiga, sejauh ini aku merasa nyaman-nyaman saja. Tidak melebihi batas toleransi pribadiku. Aku hidup untuk bersenang-senang, aku tidak melakukan apapun yang tidak aku sukai.

 

Apa Sih Introvert Itu?

Menurut KBBI, introver adalah bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kepada orang lain; bersifat tertutup. Hmm, pada banyak kasus aku memang tertutup, aku tidak suka mengemukakan pendapat pribadi pada orang lain jika kupikir itu tidak ada gunanya. Tapi di sisi lain, aku juga suka mengutarakan seluruh pikiranku ketika aku merasa itu perlu dibagi. Mostly dalam bentuk tulisan, biar aku tidak perlu mengulang-ulang hal yang sama.

 

Btw, bisa dilihat bahwa KBBI menulis kata introver sebagai kata baku dari istilah asing introvert. Sayangnya, aku lebih senang menggunakan istilah introvert. Lebih nyaman saja. Memang merupakan salah satu sifatku yang kadang suka denial dengan kata baku serapan. Meski untuk itu aku jadi lebih sering menggunakan ctrl+I. Hal ini juga kualami ketika kata bloger dibakukan tanpa double G. Aku lebih senang menulis kata blogger atau narablog sekalian.

 

Pengertian introvert yang lain juga merujuk pada orang yang menyenangi kesendirian daripada keramaian. Sebaliknya, extrovert adalah orang yang menyukai keramaian daripada sendirian. Semakin kesini aku menemukan makna lain dari dua sifat yang bertolak belakang ini, aku menyimpulkannya dari gejala dan sifat beberapa orang yang dekat denganku. Introvert adalah orang yang men-charge energinya dengan sendirian. Sebaliknya, extrovert menjadi lebih berenergi ketika berada di tengah keramaian.

 

Menurut seorang ahli, Carl jung, istilah extroversion dan introversion lebih menunjukkan kecenderungan untuk berbicara dan berpikir. Pribadi extrovert lebih senang berbicara, sebaliknya seorang introvert lebih senang berpikir. Jika harus berbicara, pribadi introvert akan berpikir terlebih dahulu.

 

Seorang introvert jarang berbasa-basi dan jarang memulai pembicaraan dengan orang asing. Mereka sangat menikmati me time. Bukan berarti tidak suka berbicara dengan orang lain, malah kalau sudah mulai klik dalam suatu obrolan, ia tidak ragu melakukan komunikasi personal yang mendalam dengan orang lain. Aku banget ini. Harus dekat lama dulu baru bisa akrab.

 

Anehnya Menjadi Introvert

Seorang kenalan yang introvert pernah cerita, ketika membalas pesan-pesan yang masuk ke akun medsos atau emailnya dalam waktu satu jam non-stop ia merasa kehabisan energi. Seperti nggak ada bedanya energi yang dikeluarkan antara ngobrol langsung atau hanya berbalas pesan.

 

Aku juga begitu. Oleh karena itu kadang aku membuka pesan tidak bisa sembarang tempat dan waktu. Aku kayak harus meluangkan waktu sendiri untuk membuka pesan dan menjawab chat. Padahal efek buruknya adalah chat semakin bertumpuk dan akhirnya membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak lagi untuk meresponsnya. Itu bikin aku sangat draining out.

 

Di masa digital seperti ini berbalas pesan maknanya memang hampir tak ada beda dengan ngobrol langsung seperti zaman dulu. Apalagi dengan adanya grup-grup WA, seperti ruang bersama yang siapa saja bisa melemparkan topik pembicaraan selama 24 jam penuh. Aku sendiri jarang aktif di grup-grup WA, kecuali isi grupnya benar-benar dekat dan aku merasa nyaman.

 

Meski begitu, aku jarang skip obrolan di grup WA. Aku rajin scrolling, ya makanya butuh waktu lama itu tadi kalau sudah buka grup yang isi chatnya ratusan. Jadi meski gak aktif, setidaknya aku ngerti ada kejadian atau kabar apa di grup tersebut.

 

Untuk membuka chat grup WA sendiri, aku hanya punya waktu sedikit karena harus berbagi dengan dunia nyata dan target harian produktivitas menulisku. Dulu aku mengalokasikan waktu untuk buka WA dan berbalas pesan di grup yang tidak terlalu prioritas 4 kali dalam sehari yaitu pagi, siang, sore, dan malam. Jam-jam ketika menurutku aku bisa longgar.

 

Sekarang dengan banyaknya beberapa kewajiban di dunia nyata. Satu hari itu aku kadang hanya sempat buka pesan dan respon chat saat malam hari sebelum tidur. Itu pun kadang diperparah dengan sinyal di dalam kamarku yang jeleknya luar biasa. Untuk pesan pribadi dan mention langsung, biasanya akan aku repons cepat sih. Karena bukannya aku nggak pegang hp, tapi memang waktunya yang harus dibagi dengan kegiatan lain.

 

Dan seperti yang sudah kubilang di atas, berbalas pesan bagi seorang introvert itu butuh banyak energi. Jangan tanya telepon, sejak dulu aku sering ragu mengangkat telepon. Salah satu ketakutanku adalah takut kalau pembicaraan di telepon akan panjang dan memakan waktu lama, nggak nyaman aja. Apalagi kalau yang dibahas bukan sesuatu yang esensial. Sekarang-sekarang sih aku sudah mulai mengubah mindset, kalau orang menelepon pasti penting. Mindset tersebut sukses bikin aku jadi ringan saat akan mengangkat telepon. Bisa dibayangkan kemungkinan berapa kali aku akan menelepon duluan (tanpa alasan).

 

Sama kasusnya dengan mengangkat telepon, menemui orang yang datang ke rumah saja aku malasnya minta ampun. Terutama yang nggak pakai janji sebelumnya, terutama lagi orang yang dicarinya bukan aku. Waktu kecil dulu, aku sering skip panggilan orang di luar rumah karena merasa nggak nyaman. Apalagi jika posisinya aku sedang tidur siang. Apalagi setelah jilbaban, aku harus ribet cari jilbab atau sejenisnya sebelum keluar jika yang memanggil suaranya terdengar seperti laki-laki.

 

Makanya aku bersyukur jika ada orang lain yang harus membuka pintu atau menemui orang di luar. Parahnya kalau sendirian, siapa coba yang harus disuruh. Bahkan aku dulu sampai mikir punya robot yang menjawab salam dan menerima serta menyampaikan informasi sebagai perwakilan orang rumah. Syukurnya aku sudah insyaf, lagi-lagi dengan cara mengubah mindset. Dengan kecanggihan teknologi penyampai pesan seperti sekarang ini, jika orang sampai ke rumah berarti penting. Sangat penting. So, setidaknya sekarang semalas atau setidak nyaman apapun aku akan tetap menemuimu jika kamu datang ke rumah.

 

Aneh ya? Orang extrovert nggak bakal paham rasanya.

 

Lain halnya dengan sapa-menyapa jika berpapasan di jalan. Seorang teman bilang, dia kalau ketemu orang yang lebih sukses darinya agak malas menyapa. Kalau kira-kira statusnya kurang lebih sapa dengan dirinya, dia pasti nggak akan sungkan untuk menyapa duluan. Aku? Ketemu siapa saja sungkan menyapa duluan, kecuali orang-orang dalam ring 1 kehidupanku.

 

Bukan karena sombong atau gimana, tapi karena emang nggak nyaman. Jika sudah terlanjur saling melihat, aku bisa kok mengobrol dengan baik. Terlibat pembicaraan dalam waktu yang lama dengan orang asing akan membuatku tidak nyaman. Di suatu kerumunan, aku biasanya senang menjadi pengamat atau pendengar, hanya akan menimpali ketika temanya nyaman bagiku untuk dibicarakan. Jika sudah mulai jengah, aku akan mundur pelan-pelan. Menyendiri ke sudut.  Jangan tanya sama orang asing aku pasti memilih untuk tidak memulai pembicaraan jika memang tidak benar-benar perlu.

 

Jadi, ini semua tentang kenyamanan. Bukan karena ada masalah personal dengan siapapun. Gimana mau punya masalah dengan orang lain, wong aku membatasi interaksi?

 

Karakter Orang-orang Extrovert

Bukan hanya kepribadian orang introvert yang menarik untuk dikulik, kepribadian orang extrovert juga seru untuk diamati. Seperti kataku, aku dikelilingi oleh banyak orang extrovert dan itu membuatku bisa mengamati mereka dengan bebas.

 

Seorang kenalanku ekstrovert dan tinggal di kota besar. Pada saat pandemi sekarang kotanya mendapat label red zone, dengan kesadaran tinggi dan demi kesehatan keluarganya ia membatasi kuantitas untuk keluar rumah. Untuk mengembalikan energinya karena nggak bisa ketemu orang secara langsung, ia sering menghubungi teman-temannya lewat fasilitas video conference. Nggak ada bahasan spesifik katanya, cuma biar dia bisa ngobrol aja sama orang di luar keluarganya di rumah.

 

Seorang teman yang lain, malas berada di rumah karena sepi. Jadi setiap saat selain makan dan tidur, ia akan di luar rumah untuk berteman dengan orang lain. Begitu caranya mengisi energi. Suamiku, kadang karena faktor pekerjaan yang harus di depan laptop aja, dia jadi draining out. Aku sudah nggak heran lagi kalau dia ngajak jalan tanpa tujuan. Supaya jiwa extrovert-nya tersalurkan saja. Dia akan ngobrol dengan orang-orang asing yang ia temui di jalan, entah paman pentol atau kenalan yang tak sengaja ia temui. Btw, mungkin karena faktor ekstrovert-nya, ia punya banyak teman di mana-mana.

 

Jadi ketika kami jalan (tanpa tujuan) berdua, aku menikmatinya dengan cara alien, dia 180 derajat berbeda. Seorang sahabatku waktu kuliah dulu juga extrovert. Dia tidak akan pernah makan di luar jika tidak ada yang menemani. Lah aku, biasa aja makan di warung sendirian.

 

Jadi, Gimana?

Sebeda itu memang ekstrovert dan introvert. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dari kedua karakter ini. Tinggal menyeimbangkan satu sama lain. Dan perlu diketahui karakter dalam diri seseorang mungkin bisa berubah dari waktu ke waktu. Aku sendiri merasa, aku jauh lebih extrovert dari diriku di masa lalu.

 

Pernah dengar kata ambivert? Itu adalah gabungan antara sifat introvert dan extrovert. Menurutku setiap orang punya kecenderungan untuk menjadi ambivert karena sebenarnya tidak ada yang benar-benar introvert atau extrovert seratus persen. Untuk kebaikan, tinggal sesuaikan karakter yang dimiliki dengan norma yang berlaku di masyarakat. Ini akan membuat diri menjadi lebih nyaman dan tidak merugikan orang lain.

 

Kelebihan dan Kekurangan Menjadi Introvert

Kelebihan menjadi introvert adalah menjadi lebih mudah mengenali diri sendiri. Mungkin karena sering berduaan dengan diri sendiri sehingga bisa tahu persis apa yang diinginkan oleh diri. Aku biasanya tahu persis saat aku marah itu karena apa, aku tahu apa yang membuatku sedih, aku tahu apa yang akan membuatku sakit kepala, dan sebagainya.

 

Kekurangan menjadi introvert, harus sering tabah hati kalau dikatain sombong. Tidak punya banyak teman. Selain itu juga sebagai introvert pasti agak sungkan jika harus meminta bantuan orang lain padahal butuh.

 

Apakah Salah Menjadi Introvert?

Beberapa waktu yang lalu ada seorang influencer yang bilang dirinya introvert untuk membenarkan kelakuannya yang tidak berempati dengan kondisi orang lain. Menurut psikolog, ini adalah mental block yang harus dihindari. Padahal mau introvert atau ekstrovert empati harus tetap dijaga. Kepekaan dan kecerdasan sosial kita dibutuhkan dalam empati.

 

Jangan mengatasnamakan karakter introvert untuk membenarkan sikap negatif kita. Ini sama halnya dengan self diagnose memiliki gangguan mental tanpa pergi ke ahlinya. Takutnya malah kelakuan-kelakuan buruk yang dilakukan oleh orang tersebut mengatasnamakan gangguan mental, padahal belum tentu.

 

Lebih baik ke profesional untuk mengetahui kebenarannya untuk menentukan sikap selanjutnya. Jika kita punya mental block ‘aku memang kayak gini’ dan tidak mau berubah. Fix, emang ada yang salah dengan diri kita. Jangan juga merasa paling benar hanya karena klaim terhadap karakter tertentu (introvert atau extrovert) dan merasa masukan orang lain sebagai ancaman.

 

Seperti yang kubilang di atas, kecerdasan emosi harus dimiliki oleh semua orang. Tidak peduli karakter dominan apa yang dimiliki. Kecerdasan emosi ini sangat dibutuhkan untuk kedamaian hidup bersama. Terutama di dunia maya zaman sekarang.

 

Jadi, apakah salah menjadi introvert? Salah jika itu menjadi alasan oleh seseorang untuk berbuat semaunya. Salah jika itu dapat membuat seseorang melegitimasi kekeliruan yang ia lakukan.

 

Daaan disclaimer sebagai penutup dalam tulisan ini aku hanya ingin berbagi jalan ninjaku sebagai seorang introvert. Bukan mengharuskan semua orang introvert bersifat seperti aku atau bukan untuk memaksa orang extrovert agar berubah menjadi introvert. Tidak, tidak sama sekali. []

Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

29 komentar

  1. tentu introvert murni tak bisa merasakan isi hati extrovert murni ya kak... begitu sebaliknya tapi bagi yang memiliki sifat kombinasi bisa merasaknnya. asku setuju sih selama ngga b=melewati batas toleransi masih oke oke aja

    BalasHapus
  2. Orang introvert juga suka bersosialisasi, namun mereka sudah merasa nyaman jika memiliki 1 atau 2 orang teman dekat karena bagi mereka yang terpenting bukanlah kuantitas teman yang mereka miliki tetapi lebih kepada kualitas atau ‘kedalaman’ hubungan yang mereka bangun. Lebih fokus ke kualitas pertemanan dibandingkan kuantitas akan jumlah teman.


    Beda halnya dengan orang ekstrovert, mereka sangat senang bertemu dengan orang-orang baru dan membuat teman sebanyak mungkin karena justru hal inilah yang membuat mereka nyaman. :)

    BalasHapus
  3. Lingkungan memang sangat berpengaruh ya sama kepribadian, meskipun gak akan mengubah sifat bawaan kita, tapi pasti bisa berubah kebiasaan.
    Mau introvert ataupun ekstrovert yang penting bisa menempatkan diri di semua situasi dan kondisi

    BalasHapus
  4. Iya aku juga introvert. Ga suka bnyk ktmu orang n ngbrl2 kecuali ke teman2 akrab yg aku bs nyaman. Apalagi ditelp orang ga dikenal kayak bingung nerima ga. Banyak kucuekin hehe

    BalasHapus
  5. Dulu aku ngerasa aku ini extrovert banget, tapi setelah banyak memahami diriku sendiri ternyata banyak sisi dalam diriku yg introvert. Akhirnya aku putuskan sepertinya aku ini ambivert wkwkwk

    BalasHapus
  6. Sebenarnya kita bisa nyebut diri kita introvert atau ekstrovert ga sih? Takutnya cuman psikolog yang bisa bilang gitu. Btw, kayaknya kalau di sekitarku, gak ada yang benar-benar murni introvert atau ekstrovert, tapi ada salah satu yang dominannya. Jadi mungkin Mbak juga ada sisi ekstrovert juga

    BalasHapus
  7. aku pernah merasa "apa aku introvert ya?"
    karena aku kurang suka bersosialisasi. lebih suka duduk sendiri di cafe walaupun lagi rame. dengerin lagu.
    dan aku memang kurang punya temen
    kadang tuh suka ngitung : berapa banyak ya temen ku. oh cukup dihitung pake jari.

    aku setuju banget mba, jangan merasa paling benar hanya karena klaim terhadap karakter tertentu (introvert atau extrovert) yang akibatnya bikin kita susah nerima masukan

    BalasHapus
  8. semangat mba,kadang pun eny merasa minder sendiri biapun udah ngumpulin kepercayaan diri :D g semua situasi bisa kita hadapi

    BalasHapus
  9. menjadi introvert memang kadang banyak ngga enaknya apalagi kalau dunia ini memang lebih ke eksttro, tapi semakin ke sini jadi makin belajar sih dan bukan buat alasan, biar ga kena mental block juga hehe. enaknya introvert, ga masalah sendirian :D

    BalasHapus
  10. iya nih, kok kita sama ya? aku pribadi sebagai introvert tuh merasa banget lonely in crowded. beda ama ibu & bapak, mereka kalo di tengah orang malah santai aja ngajakin orang-orang ngobrol. biarpun nggak kenal. beda ama aku, kenal ataupun nggak kenal malah stuck mau ngomong apa hihi.

    BalasHapus
  11. Setuju Rindang.
    memang setiap manusia itu unik dengan kepribadiannya masing-masing.
    Gak boleh langsung judgement kalau belum kenal betul.

    BalasHapus
  12. Wah, ciri-ciri yang disebutkan di atas kok saya banget 😅 berarti saya termasuk orang introvert juga ya. Saya juga agak kesulitan kalau mesti kumpul keluarga atau arisan RT, antar anak sekolah juga cuma sampai gerbang sekolah lalu saya tinggal untuk lakukan kegiatan lain di rumah,, daripada harus tunggu 1 jam sambil ngerumpi dengan Ibu2 lainnya sampai anak selesai belajar

    BalasHapus
  13. kalau aku introvert yang memang lebih suka diam sih. tapi kadang kalau di tempat umum aku malah senang ngajak ngobrol orang yang nggak dikenal.

    BalasHapus
  14. Yuhuu mba rindang. Sebagai sesama introvert i feel u banget. Tp aku ini bukan tipe introvert yg banget sih. I mean, aku mendapat energi bukan dr ruang kotak. Tapi melihat dunia. Dan aku bukan tipe socialoriented, lebih mengutamakan berkumpul dg yg 1 passion n keluarga. Apakah itu introvert ya. Wkwk

    BalasHapus
  15. Bisa berubah gak siih...karakter ini?
    Aku dulu semasa sekolah, ekstrovert. Tapi sejak punya suami dan anak-anak, lebih happy dirumahaja.
    Kalau ada kepentingan yang mengharuskanku keluar dari cangkang, baru aku menampakkan diri.

    BalasHapus
  16. Setiap orang kayaknya punya bakat entrovert ya, gmm kita menyikapi sifat dan karakter diri.
    Banyak yg bisa berubah, ada jg yg tetap pada sifat aslinya

    BalasHapus
  17. Saya pun mengalami bagian tidak nyaman saat harus bertelepon dalam waktu lama. Rasanya menghabiskan waktu. Pun dengan berbalas pesan kecuali dengan org2 tertentu yg memang sdh sangat dekat. Saya sendiri baru ngeh sebagai ambivert setelah ikut tes MBTI dan membaca beberapa referensi.

    BalasHapus
  18. sama banget mbak, aku pun gitu. kayaknya kita klop deh kalo ketemu! tapi ada satu yg beda, aku gak suka huruf merungkel2 itu, wkwkwk. puyeng liatnya!

    BalasHapus
  19. This is unique person. We are will support each other

    BalasHapus
  20. Betul sekali. Orang sering salah duga soal introver dan ekstrover. Padahal intinya bukan pada pemalu, pendiam, atau tertutupnya.

    BalasHapus
  21. Mbakkkkk pelukkkk. Kita samaa. Malas menemui tamu yang nggak pakai janji. Bisa ke mana-mana sendiri. Capek ketemu banyak orang. Dan recharge energi dengan jalan2 sendiri udah paling mantap.

    BalasHapus
  22. Tiap manusia itu unik, introvert ekstrovert atau ambivert pun pasti punya potensi dan kelebihan masing2. Tinggal pintar2 mengasahnya aja ya Mbak..

    BalasHapus
  23. Pasti ada positif negatifnya ya antara introvert dan ekatrovert. Saya juga termasuk introvert, hanya bisa dekat dengan beberapa teman saja dan lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri atau dengan orang terdekat saja yaitu keluarga.

    BalasHapus
  24. Saya ga nyaman klo bertemu banyak orang, tapi klo balas pesan masih bisa tahan hehe... Mantap nih jadi tambah informasi lebih lengkap mengenai introvert

    BalasHapus
  25. Kalau saya sepertinya ambivet, soalnya kalau baru kenal dengan orang saya cukup pendiam. Paling bertegur sapa seadanya, tapi kalau sudah sering ketemu saya bisa banyak bicara dengannya. Tetapi saya sangat jarang berbicara hal yang pribadi dengan orang lain. Biasanya yang saya bicarakan hal-hal umum saja. Jadi meskipun teman akrab saya sulit bercerita tentang hal-hal yang bersifat pribadi.

    BalasHapus
  26. Setiap karakter itu unik dan harus dihargai dengan respek. Karena tiap orang itu punya kekhasannya masing-masing. Spesial. Baik introvert, ekstovert, maupun ambivert. Tinggal mengasah kecerdasan emosionalnya saja. Kalau boleh rekomendasi, ada buku bagus juga bahas soal ini: judulnya Personality Plus tulisan Florence Litauer. Saya baca buku itu untuk improve kepribadian saya ^_^

    BalasHapus
  27. Introvert persis kaya suamiku yang cuma bisa dekat beberapa org di luar keluarga. sementara kalau abis isi pelatihan atau webinar yaitu drained out bahasanya aku br tahu, lelah buat ngecharge. sementara aku exstrovert yang dimana dulu sebelum pandemi minimal 2 minggu sekali harus haha hihi keluar ketemu temen. akibatnya pas pandemi gini aku banyak nulis banyak meluapkan pikiran. trus sesekali vcall ngajakin orang segrup..random bgt ya. apapun itu yang penting kita yang tahu dan kenal diri kita, itu sudah lebih dari cukup.

    BalasHapus
  28. Ga ada yang salah menjadi introvert, kalau sudah diberi Tuhan karakter demikian. beberapa tahun terakhir baru tahu ada yang namanya ambivert, gabungan introvert dan ekstrovert. Kayanya aku juga ambivert deh

    BalasHapus
  29. Sedikir cerita, suamiku itu orangnya introvert tulen lho mba dan setelah menikah entah kenapa aku yg aslinya ekstrovert ini malah jadi ketularan doi. Dan, emang sih rasa-rasanya jadi lebih adem, hahah. Pokoknya bener banget lah, hanya orang introvert aja yg tahu gimana rasanya.

    BalasHapus

Posting Komentar