Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Bagaimana Rasanya Keguguran? II

19 komentar
Ketika masuk kamar inap, aku agak bingung karena ada dua bed. Ekspekstasiku karena aku pakai BPJS kelas satu aku dapat ruangan dengan satu bed saja. Namun, tulisan di depan ruangan memang menunjukkan itu untuk pasien kelas satu. Beda ruangannya dengan kelas lain hanya pada keberadaan AC.


Oya, aku masuk di ruang nifas bukan di kamar inap biasa. Tidak lama setelah aku masuk, masuklah rombongan keluarga kecil menyusul bayi yang baru dilahirkan sore itu. Alhasil, tidur malamku diwarnai dengan tangisan bayi di malam pertamanya menghirup udara. Aku yang awalnya senang karena sendiri saja di ruangan yang cukup besar itu harus menelan ludah, fasilitas kelas satu enggak seistimewa dugaanku.


Malam itu, adikku datang lagi membawa alat-alat yang sekiranya dibutuhkan untuk menginap. Ia dan istrinya tidak menginap, setelah ngobrol panjang lebar mereka pamit pulang. Hanya suami yang menginap malam itu, tidak masalah karena aku juga jadi lebih tenang. Suamiku sendiri tidur cukup pulas, di karpet bawah karena bantal dan guling kesayangannya diboyong ke sana.

Aku sendiri tidak bisa tidur dengan leluasa, hanya telentang. Mengingat ada dua selang yang menempel di tubuhku. Selain itu, sisa-sisa sakit fisik juga masih ada sehingga aku tidak bisa banyak bergerak. Sebelum tidur aku minta digantikan pampers, hanya untuk memastikan apakah ada darah yang keluar lagi setelah tadi.

Saat tidur aku ingat merasa ada yang mendesak di dalam perutku ingin keluar. Dua kali aku merasakan gumpalan darah yang cukup banyak tersebut keluar. Tidak terlalu sakit jika dibandingkan saat sore tadi. Entah karena efek aku dalam kondisi tertidur atau karena memang karena jalannya sudah terbuka.


Setelah sarapan, sekitar jam 9 pagi. Aku diboyong menggunakan kursi roda untuk USG. Setelah lama menunggu alatnya yang eror di ruang bersalin, akhirnya aku dibawa ke poli kandungan. Ternyata janin di dalam perutku sudah tidak ada, diperkirakan ia keluar dalam bentuk gumpalan darah yang keluar malam itu sesuai penampakan yang diamati perawat.

Saat kemarin pas di IGD itu janinnya masih ada. Darah-darah yang keluar kemarin itu hanya berupa sitocell.  Sayang, meski calon bayiku sudah luruh di rahimku masih terdapat banyak gumpalan darah yang mesti dibersihkan. Makanya aku perlu dikuratase agar bersih. 

Agak ngeri juga waktu mendengarnya. Aku tidak terlalu mengerti teknisnya, tapi pernah mendengar sedikit dari cerita orang yang pernah keguguran. Bayangan rahimku diobok-obok, membuatku mual. Tapi aku menguatkan diri bahwa itu tidak apa-apa. Well, sampai sekarang aku masih tidak ingin tahu detail teknisnya bagaimana.

Aku dibawa ke ruang tindakan di dekat ruang persalinanan. Aku ingat pernah masuk ke ruangan ini saat salah satu keluarga melahirkan. Bedanya aku rebahan di bed sebelahnya. Oya, beberapa kali aku bertemu dengan teman saat SMA di rumah sakit ini. Sehingga ketika mereka yang melayani aku jadi agak lebih selow. Apalagi ketika ada teman yang juga bilang, “Aku juga kuratase dulu, gak papa kok.”


Olehnya aku disuruh melepas cincin, jam tangan, dan gelang. Juga menghapus lipstik. Iya, aku sempat pakai lipstik waktu akan keluar dari kamar inap biar tidak kelihatan pucat. Baju juga harus dilepas semuanya dan diganti dengan sarung berlapis-lapis. Sambil menunggu suamiku yang mengurus klaim di konter BPJS, aku rebahan hingga tertidur.

Perawatnya berseloroh setelah membangunkanku, gak perlu pakai dibius lagi ini katanya. Bius? Aku mendesis dan mengingat-ingat pembicaraan para perawat sesaat sebelum aku tertidur. Mereka membicarakan beberapa jenis obat dan dosisnya, mungkin itu yang akan diinjeksi kepadaku nanti.

Oya, selain itu aku juga mendengar kasak-kususk di bed sebelahku. Pasangan suami istri yang ingin pasang KB dengan IUD. Ih, aku lebih ngeri ini membayangkannya daripada pasien yang kemarin bersamaku di IGD. Mereka terkendala karena tidak membawa kartu keluarga, alasannya karena kartu keluarga mereka di Banjarmasin, sekitar 5 jam perjalanan dari sini. 

Akhirnya si perawat memberi keringanan, minta siapapun yang ada di rumah sana untuk mengirimkan foto KK ke nomor WA salah satu perawat. Namun suami pasien bilang, tak ada siapapun di rumah, rumahnya terkunci. Aku bertanya-tanya, jadi di Barabai ini mereka ngapain? Akhirnya disepakati bahwa setibanya mereka nanti di Banjarmasin mereka langsung harus mengirim foto KK ke WA perawat. Setelah setuju, maka prosedur pemasangan IUD pun dilakukan.

Aku berpikir, jika aku sudah melahirkan nanti aku mungkin tidak akan pasang KB yang aneh-aneh. Ngeri saja. Kesadaran menghempaskanku ketika aku didorong di atas brankar, untung aku sempat menyampirkan kerudung di atas kepala. Mana suamiku tidak terlihat pula. Ternyata aku dibawa ke ruang operasi. Aku ‘diparkirkan’ sebentar sebelum masuk ke kamar operasi.


Saat itulah salah seorang pasien di sebelahku membuka tirai yang menghalangi kami, melihat aku membuka mata dia langsung menyerocos, “Aku sudah lama sekali di sini, mengapa tiak dikeluarkan juga.” 

Aku terlalu lemah untuk menjawab hingga hanya diam tanpa menimpali perkataan si ibu. Tidak lama kemudian, aku dibawa ke ruang operasi. Mungkin pasien yang tadi ruangan operasinya beda dengan yang akan kugunakan, karena dari waktu kedatangan jelas beliau yang lebih dulu.

Kesan pertama yang kuingat saat masuk ke ruang operasi adalah, langit-langitnya yang jelek. Karena aku hanya bisa telentang, jadi fokus utamaku hanya bagian atas ruangan. Kubilang jelek karena warnanya tidak rata, kotor, dan terdapat lubang di satu titik. 

Ketika aku sudah direbahkan di meja operasi, aku menyadari ini bukan meja biasa. Ada bentuk tertentu dari bagian pinggang hingga ke kaki, lekukannya disesuaikan dengan bentuk tubuh bagian bawah. Jika aku tak salah ingat, ada lubang di bagian bawahnya. Di bagian samping, ada tempat khusus untuk meletakkan tangan. Aku ingat, salah satu perawat menyuruhku pelan untuk meletakkan tangan kananku di sana. Ia kemudian menjepit salah satu jariku.

Sampai di sana. Ingatanku hilang. Ketika mataku membuka kembali yang kuingat pertama kali, aku sampai di kamar inapku. Aku melihat sekilas wajah-wajah orang yang kukenal menjengukku. Konon, setelah bercerita di rumah waktu keluar dari kamar operasi semua badanku ditutup termasuk wajah menggunakan kerudung. Papa hampir tidak mengenali tapi langsung kenal karena sarung yang kukenakan punya mama.

Setelah ingatan sekilas itu sepertinya aku tertidur (atau pingsan) lagi. Yang kuingat kemudian ada nenek dan ibu mertuaku yang mengoleskan minyak kayu putih di bagian kaki dan tanganku. Rupanya suhu tubuhku masih dingin. Ketika aku melihat sekeiling keluarga besarku sudah hadir plus ada teman suami yang juga masuk.

Aku ingat minta dibangunkan dan pakai kerudung karena saat itu yang ada di tubuhku hanya sarung. Ada si kecil davin yang khusus dibawa untuk menghiburku. Aku senang sekali. Terlepas kehilangan yang baru saja kurasakan, aku merasa hangat karena ada keluarga yang mendampingiku. Sambil ngobrol dengan mereka, aku makan siang.

Setelah para penjenguk pulang sekitar jam 2 sing. Aku dan suami tertidur. Ketika bangun, perawat datang menanyakan kondisiku. Tidak ada keluhan kubilang. Indikasi aku sudah bisa pulang katanya adalah ketika aku sudah bisa buang air kecil sendiri di toilet. Aku baru menyadari selang kateterku sudah dilepas. Entah kapan.

Tidak lama kemudian, aku ingin pipis. Si ibu yang menjaga putrinya yang baru lahiran di sebelah berjengit ketika aku turun setengah melompat dari bed. Bed-nya memang cukup tinggi untuk ukuran tubuh mungilku. Setelah pulang dari toilet, aku mendapat nasihat gratis dari beliau, “Hati-hati kalau bergerak, keguguran itu sama saja dengan habis lahiran.”

Oh aku baru paham maksudnya kenapa dia agak aneh dengan kelakuanku melenggang turun dari bed tadi. Jujur saja saat itu memang tidak perasaan sakit lagi yang kurasakan sehingga aku merasa aman untuk bergerak. Entah karena masih ada efek obat bius atau gimana.

Suamiku pun melapor kepada perawat bahwa aku sudah pipis sendiri sehingga aku akhirnya diperbolehkan pulang sore itu juga. Sekitar 3 jam kemudian aku dijemput pulang oleh keluarga dengan mengantongi obat dan surat kontrol 10 hari kemudian.

To be continued.
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

19 komentar

  1. pertanyaanku di bagian 1 belum dijawab, huhu ...
    btw semoga diganti yg lebih baik, n sehat selalu

    BalasHapus
  2. Masyaallaah... Kuatnya Mbak yang udah mengalami. Semoga sehat terus mbak ke depannya. Makasih udah berbagi, Mbak :)

    BalasHapus
  3. Kalau kelas satu bayangan saya juga sekamar sendirian jadi keluarga bisa bebas juga menemani atau berbicara kencang dan ngobrol dengan kita kalau mereka berkunjung atau menemani. Nyatanya nggak ya.

    BalasHapus
  4. Ya Allah, berkeringat dingin bacanya, semoga selalu diberi kesehatan ya say...iya, sakitnya kayak orang lahiran ya katanya..

    BalasHapus
  5. Ngeri membayangkan dibius itu, huhu takut kenapa-kenapa, susah bangun, itu yang kupikir pas operasi dulu

    BalasHapus
  6. Masyaallah betapa kuatnya wanita yang sudah melewati tahap ini. Semoga diberi sehat selalu Mbak. Terima kasih sudah berbagi :) Ini bisa jadi pengalaman yang sangat bermanfaat untuk yang lain

    BalasHapus
  7. Saya pernah keguguran anak pertama. Sakit dan sedihnyaaa :'( Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik ya, Bunda Shalihah :)

    BalasHapus
  8. Mati kita menyimak lanjutannya, agar mengerti bagaimana kelanjutan rasa itu... karena cowok gak akan bisa merasakan pedihnya

    BalasHapus
  9. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik. Sehat ibu dan bayinya

    BalasHapus
  10. Turut sedih yaa mba, semoga masih ada rezekinya untuk kembali di percaya sama Yang Maha Kuasa. Aku pernah mendampingi Kakak aku yang abis keguguran, semalaman rasanya dada sesak pas liat dia lagi kesakitan sebelom operasi huhuhuu

    BalasHapus
  11. Semoga lekas sehat dan pulih kembali ya mba. Itu dipakai sarung saja karena harus seperti itu kah? Aku penasaran juga bagaimana kelanjutannya

    BalasHapus
  12. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik ya Mbak. Semoga lekas diberi keturunan dan lekas pulih.

    BalasHapus
  13. *peluk virtual Mbak Rindang*
    Aku mau nangis bacanya, Mbak. Aku gak pandai ngasih kalimat penghiburan. Insyaallah Mbak disegerakan lagi dapet rezeki dede bayi yang lucu dan sehat. Sehat selalu Mbak. Kehilangan memang berat Mbak, tapi setelah ini semoga mbak bisa jadi pribadi yang lebih sabar dan bahagia. Semangat Mbak!

    BalasHapus
  14. Aku tak bisa membayangkan perasaanmu. Jujur, saat menjalani perawatan pasca melahirkan selama 3 hari (standar RS sini) aku merasa kelu karena di kamarku ada pasien keguguran.

    Aku bertanya-tanya kenapa tidak ada ruangan khusus untuk mereka yang keguguran? Bukankah secara psikologis, penyembuhan pasca keguguran itu bisa lebih panjang karena trauma dan rasa sedih yang sangat mendalam karena ada perempuan yang beruntung sedangkan dia tidak?

    Aku ikut berduka untukmu. Tabah, ya.

    BalasHapus
  15. Wuah peluk Mbak Rindang. Baru tau kabar ini mbak...
    Semoga lekas pulih secara fisik dan mental sehingga bisa beraktivitas seperti sedia kala ya mbak.
    Eh teman SMA-nya banyak yang jadi perawat kah?

    BalasHapus
  16. pasti perasaanmu hancur ya kak. Sang buah hati yang ditunggu di ambil kembali oleh sang pencipta. Tapi itu pasti jadi pelajaran berharga yang luar biasa dan membuat emak jadi yang terbaik karena sudah mau menjadi "rumah" baru bagi kehidupan baru

    BalasHapus
  17. Turut berduka ya kak, bacanya bikin merinding banget bila kita sedang mengandung terus keguguran gimana gitu rasanya.

    BalasHapus
  18. Rindang...
    Syafakillahu yaa, sayang...
    In syaa Allah akan diganti dengan yang lebih baik lagi.

    Aku salut sama Rindang yang kuat.

    BalasHapus
  19. Meski belum pernah mengalami ini, saya bisa merasakan sedih, sakit, dan rasa kehilangannya. Semoga dimudahkan proses pemulihannya ya, Mbak. Kembali fit dan beraktivitas seperti sediakala..salam sayang..

    BalasHapus

Posting Komentar