Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Nostalgia Ramadhan

1 komentar
Ada beberapa hal yang paling kuingat tentang Ramadhan ketika aku masih kecil dulu.


Bermain saat tarawih
Ketika orang-orang dewasa sedang sibuk tarawih, aku dan teman-temanku malah bermain-main (begaya -dalam bahasa Banjar). Aku ingat sekali, dulu itu kami malas sekali tarawihnya tapi tetap senang datang ke surau. Mungkin karena ada motivasi bermain-mainnya itu kali ya. Entah apa yang kami lakukan, yang jelas “permainan” kami menimbulkan keributan dan sering membuat jamaah ibu-ibu di shaf depan memarahi kami. Untuk menyiasatinya, ketika akan duduk tasyahud terakhir, kami cepat-cepat berada dalam posisi tersebut. Sehingga seusai salam, ibu-ibu bingung mau memarahi siapa, karena yang terlihat kami semua ikut shalat juga. Hihi. Kalau capek bermain-main, kami akan rebahan saja di atas sajadah.


Saling mengganggu saat tarawih
Di antara kami sepermainan, tidak ada yang bisa khusyu’ shalat dulu itu. Kalau mau khusyu’, ya harus semuanya. Kalau hanya ada satu orang yang shalat, yakin dia tidak bakalan khusyu’ karena bakalan diganggu setan-setan kecil yang lain. Bahkan ketika shalat pun, kami masih sempat mencubit tangan teman yang di samping. Jahil ya?

Membawa makanan ke surau
Tidak sekedar membawa, kami juga bahkan memakannya di dalam surau! Astaghfirullah. Makanan yang menjadi primadona kami saat itu adalah mie instan yang dimakan langsung –tidak dimasak, jadi semacam kerupuk. Waktu memakannya tentu saja saat orang-orang dewasa sedang shalat tarawih.

Laduman
Di kampungku dulu, petasan merupakan barang langka. Yang membuat heboh setiap malam Ramadhan adalah laduman, yaitu permainan meriam dari bambu yang diisi minyak tanah dan dengan cara tertentu bisa dibunyikan dengan nyaring. Sebenarnya ini permainan berbahaya bagi anak-anak. Tapi tak ada orang tua yang sanggup meredupkan antusiasme anak laki-laki untuk memainkannya. Adikku merupakan salah satu dari maniak laduman.

www.lawupos.com

Lampu-lampu di halaman rumah
Kampungku yang biasanya sepi dan gelap, saat malam Ramadhan (terutama malam ke-21) menjadi bercahaya karena biasanya setiap rumah akan membuat lampu dari minyak tanah di halaman mereka. Lampu ini dibuat dari bambu yang direbahkan dan disangga dengan tongkat kayu. Di bagian sampingnya (yang ketika direbahkan akan menjadi bagian atas) dilubangi dan diberi sumbu. Rongganya diisi dengan minyak tanah. Bedamaran adalah sebutan untuk kegiatan menyalakan lampu di halaman ini. Ada juga yang bedamaran dengan membakar sendal/sepatu dari kulit yang sudah tidak terpakai lagi. Sayang, sepertinya tradisi bedamaran ini mulai punah ditelan waktu.

Warung malam
Warung ini segera beroperasi setelah waktu berbuka puasa tiba. Yang dijual di warung ini terutama adalah makanan yang digemari anak-anak, terutama kerupuk besar yang di atasnya ditaruh petis. Selain itu ada juga yang menjual bubur kacang dan pencok buah. Aihh, aku jadi ngiler kalau mengingatnya. Kalau jauh malam, “pangsa pasar” warung ini sudah berubah, dari yang tadinya anak-anak atau ibu2/bapak2 yang sedang menunggu waktu tarawih menjadi pemuda-pemuda dari kampung-kampung tetangga. Maklum, yang menjaga warungnya kan gadis-gadis berusia belia atau janda muda.

Lari pagi
Biasanya ketika waktu imsak tiba, aku dan teman-temanku segera ke surau untuk shalat subuh berjamaah. Setelah itu barulah kami lari pagi. Well, namanya memang lari tapi kegiatannya sama sekali bukan lari, lebih tepatnya jalan-jalan subuh. Rute perjalanan kami kalau tidak ke arah hilir atau ke arah hulu jalan (sesuai arah arus sungai yang sejajar dengan jalan di kampungku). Terkadang bentuk lain dari kegiatan ini adalah menunggu buah jatuh dari pohonnya. Yup, benar-benar buah. Seperti durian, kesturi, binjai, hampalam, sawo, dan buah-buah lain yang pohonnya sedang berbuah di kampungku.

Mengisi Agenda Ramadhan
Dulu, agenda Ramadhan sama sekali bukan agenda yang kubuat sendiri tapi dari sekolah dan wajib diisi. You know whatlah rata-rata isinya apa, ibadah khas Ramadhan tentu saja. Semacam tilawah, tarawih, shalat lima waktu, shalat dhuha, tahajud, dan mendengarkan ceramah. Khusus untuk tarawih, ada kolom untuk tanda tangan imam. Jadilah selesai tarawih merupakan waktu bagi imam menjadi artis sesaat yang diserbu fans untuk dimintai tanda tangan. Hihi. Untuk point "mendengarkan ceramah", aku biasanya mendengarkan ceramah lewat radio. Toh itu sudah termasuk mendengarkan, pikirku. So tidak perlu ke masjid manapun untuk mendengarkan kultum.

Tadarus Alquran
Saat kecil, kami senang ikut tadarus setelah tarawih. Apalagi ketika Nuzulul Alquran pada 17 Ramadan meriah sekali. Di akhir Ramadan ada acara betamat alias menamatkan Alquran. Pada saat itu, semua anggota yang ikut tadarus membawa berbagai macam kue sehingga bisa dinikmati setelah doa bersama. Itu nostalgic sekali!

Beberapa hal tersebut adalah hal-hal yang selalu kuingat saat Ramadhan tiba. Apalagi saat seperti sekarang ini, rasanya kangen sekali mengingat nostalgia Ramadhan tersebut,  sedang sekarang aku jauh di rantau orang.[]
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

1 komentar

  1. Dari sekian banyak memori tersebut, yg paling berkesan yang mana?
    Terus kenapa kalau di rantau gak bisa melakukannya

    BalasHapus

Posting Komentar