***
Sembari memasukkan beberapa barangnya ke dalam koper biru mudanya, Rena memegang telepon dan sibuk berbicara dengan seseorang di seberang sana.
“Iya,
lagi packing ini”
“Tidak
lah, tapi bener juga sih ini kali
pertama aku tinggal jauh dari mama, hihi”
“Janji,
aku pasti tak kan lupa”
“Bye”
Akhirnya,
telepon yang sudah mulai panas karena dipakai untuk berbicara setengah jam
penuh itu dimatikan.
“Dari
siapa, Ren”, tanya mama Rena yang tiba-tiba sudah muncul di depan kamarnya.
“Dari
Acha Ma, dia kaget banget waktu
kuberitahu aku akan ke Samarinda”
Mama
Rena terdiam sebentar, lalu berkata, “Ren, jujur mama agak khawatir melepas
kamu sendirian ke sana”
“Mama,
aku sudah 24 tahun. Aku bisa jaga diri kok”, Rena menenangkan mamanya dan
melempar senyum
“Andai
saja ada seorang lelaki meminangmu sekarang, pasti Mama akan langsung terima
agar ada yang menemani dan menjagamu di sana”
Rena
terhenti sesaat dari pekerjaannya, “Mungkin belum waktunya Rena menikah, Ma. Mama
tenang aja, jodoh pasti datang pada
saat yang tepat”, dia mulai sok menggurui.
Mamanya
hanya bisa tersenyum kecil.
“Lagian
di sana ada Ekka, teman Rena S1 dulu. Tante Ima juga di sana, kalau lagi merasa
kesepian pasti deh Rena bakal berkunjung ke rumah beliau. Wira, anaknya Tante
Ima juga pasti bakal senang menemani Rena jalan-jalan di sana”
Mamanya
sedikit lega, beliau kemudian membantu menyelesaikan packingnya Rena.
***
Kekhawatiran mamanya sebenarnya dapat dimengerti oleh Rena. Selama ini ia tak pernah sekali pun tinggal jauh dari mamanya. Sejak papanya meninggal 2 tahun yang lalu dan kedua abangnya bekerja dan menikah di dua kota yang jauh dari Jakarta, Medan dan Kuala Lumpur, otomatis Rena hanya tinggal berdua dengan mamanya. Hal ini sebenarnya membuat Rena berat hati untuk meninggalkan mamanya sendirian, tapi kesempatan kerja ini sangat langka menurutnya. Beberapa teman juga menyarankan untuk mengambil tawaran kerja tersebut, kesempatan karir yang bagus kata mereka, sayang sekali kalau dilewatkan. Rena mengajukan lamaran sebulan lalu, tepat setelah lulus dari pendidikan S2nya, di sebuah perusahaan multi-nasional yang mempunyai banyak cabang di kota seluruh Indonesia. Seminggu yang lalu kepastian dirinya diterima bekerja ia dapatkan. Sebelum menandatangani kontrak, ia sudah mengetahui akan ditempatkan di Kota Samarinda.
Tentang
suami, ah ini yang membuat Rena menghela napas panjang. Usianya baru 24 tahun,
masih muda untuk menikah menurut standar gadis Jakarta seperti dirinya. Tapi ia
tak menolak andai saja memang ada lelaki yang cocok meminang dirinya. Ia sudah
lama tidak dekat dengan lelaki mana pun setelah …. Ahh, ia jadi teringat Rey.
Lamunannya
terputus, panggilan untuk menaiki pesawat terdengar menggema di seluruh ruang
tunggu bandara. Tujuan ke Balikpapan melewati gate 5, ke sanalah kaki Rena melangkah.
***
Ya, di sinilah ia sekarang. Di Bumi Etam, Kota Samarinda. Ini pertama kalinya Rena menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan.
“Jadi
bagaimana menurutmu Kota Samarinda, Ren?”, Ekka teman dimana rumahnya merupakan
tempat Rena menginap sementara sekarang bertanya
“Bagus,
kotanya besar dan masih pure dibandingkan
Jakarta”, jawab Rena
Mereka
baru saja kembali dari berjalan-jalan dan melihat-lihat beberapa rumah kos dan
kontrakan yang akan ditempati Rena kelak. Sebenarnya Ekka menawari Rena untuk
tinggal di rumahnya selama apa pun Rena bekerja di Samarinda. Toh dia anak
tunggal, hanya ada Ekka dan kedua orang tuanya di rumah. Tapi Rena menolak, mau
belajar mandiri kilahnya. Ia berjanji akan sering-sering mengunjungi Ekka.
Begitu pula tante Ima, menawarinya untuk tinggal di rumahnya. Rena denga halus
menolak dan memberikan alasan tambahan kalau rumah tante Ima agak jauh dari
tempat kerja Rena.
“Jadi
bagaimana kabar pangeran kita?”, Ekka bertanya mengagetkan Rena yang sedang
minum
Rena
tersedak, namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya, “Emm, aku lama sekali
tidak bertemu dia Ka”, suaranya pura-pura terdengar biasa.
“Yakin
kamu tidak mau tahu kabarnya sekarang?”, pancing Ekka sambil tersenyum geli di
belakang Rena yang membalikkan badannya setelah tersedak
“Tidak
Ka, yakin”, jawab Rena lambat. Dia cukup yakin dengan subjek yang sedang mereka
bicarakan
“Sayang
sekali, kukira kamu mau tahu”, sambung Ekka tanpa ampun.
“Hah,
memangnya kamu tahu, dia sudah menikah?”, kali ini tanpa bisa menutupi rasa
penasarannya Rena membalikkan badan ke arah Ekka
“Aku
juga tidak tahu Ren”, tanpa dosa Ekka mengangkat bahu
“Huh”
Rena pura-pura kesal
Ekka
tertawa geli, setidaknya ia tahu Rena masih penasaran tentang Rey.
***
Rena menghembuskan napas lega, fiuhhh. Akhirnya selesai juga pekerjaannya. Ia melirik arlojinya, 16.30. Lembur lagi. Meski pun dia anak baru, ternyata tugas untuknya cukup banyak. Setelah dua minggu masa perkenalan dan adaptasi, Rena mulai bekerja. Alamak, di minggu keempat ia sudah harus lembur seminggu penuh, bahkan di hari jum’at. Rena sendiri tidak keberatan dengan rutinitas seperti itu, ia sudah kenyang workaholic saat kuliah dulu.
Sekarang
Rena bersiap pulang tapi setelah melihat keluar dari jendelanya, niat tersebut
ia urungkan. Hujan sangat deras di luar. Keasyikan bekerja membuat ia tidak
menyadari bahwa sejak satu jam yang lalu, rinai hujan sudah bertandang ke bumi.
Rena malas berbasah-basah kehujanan. Meski pun membawa jas hujan di balik jok
motornya, Rena tahu ia tidak akan sepenuhnya berhasil menghindari basah karena
hujan yang terlampau deras seperti ini.
Dalam
proses menunggunya, Rena jadi teringat percakapannya dengan Ekka sebulan yang
lalu. Ekka sialan, umpatnya. Rey. Satu nama itu entah mengapa membuat hatinya
merasa begitu aneh jika disebut. Ia dan Rey punya hubungan dekat dulu, ketika
mereka kuliah S1. Kemana-mana selalu bersama. Selain Acha dan Ekka, Rey adalah
sahabat Rena yang paling setia. Ya, mereka tidak pernah mengikrarkan diri
dengan hubungan antar lawan jenis. Tetapi tidak bisa terelakkan, aura kecocokan
mereka berdua telah merebak ke seluruh kampus. Tentu saja, karena Rena begitu populer.
Rey sendiri orangnya terlalu cuek untuk mengklarifikasi kabar yang salah atau
memastikan hubungan mereka. Rena senang-senang saja. Dia nyaman berada di dekat
Rey terus.
Suatu
hari, kabar yang tak ingin didengar Rena datang. Ia mendengarnya dari seorang
teman Rey satu daerah asal. Katanya Rey sudah punya tunangan, sudah dijodohkan
oleh orang tua sejak lulus SMA. Sekarang, gadisnya Rey tersebut juga sedang
berkuliah di Banjarmasin, di daerah asal Rey. Rena pias, marah, cemburu jadi
satu. Ia merasa selama ini, Rey hanya miliknya. Rey yang cuek. Rey yang hanya perhatian
dengan Rena. Rey yang manis. Rey yang selalu membantunya ketika ia butuhkan. Ia
tidak ingin berlanjut. Logikanya menyeruak. Saat itu masa akhir perkuliahan.
Rena semakin disibukkan dengan skripsinya. Pertemuan dengan Rey terbatas.
Ketika Rey mengajak bertemu pun sebisa mungkin ia hindari. Ia tidak ingin
bertemu Rey lagi. Ia tahu kabar itu benar. Ia tidak ingin mendengar kabar
tersebut langsung dari mulut Rey. Ia tidak ingin terluka lebih jauh lagi. Dan
yang paling tidak diinginkannya terjadi adalah, ia tidak ingin terlihat terluka
dan menangis di depan seseorang yang statusnya bukan siapa-siapanya.
Rena
beranjak, hujan mulai digantikan gerimis kecil.
***
“Yes”, pekik Rena ketika mengetahui ada waktu libur dalam rangka natal dan tahun baru. Satu minggu, lumayan juga pikirnya. Ia bisa balik ke Jakarta, menengok mama yang 3 bulan terakhir ini sangat dirindukannya.
Tapi
macam anak sekolah saja, meski pun libur tetap saja ada tugas yang harus
dikerjakan Rena. Tidak di kantor, tapi
di rumah. Divisi tempat Rena ditempatkan memang sangat urgen, libur 1 hari saja
akan membuat beberapa pekerjaan dari divisi lain terbengkalai. Setelah
berdiskusi dengan mamanya ia memutuskan tidak jadi ke Jakarta. Tapi untuk
mengobati kerinduannya, mamanya yang terbang ke Samarinda. Toh, kakak-kakaknya
tak ada yang bisa pulang. Lumayanlah menghabiskan tahun baru bersama keluarga
selain di kota Jakarta pikir Rena.
***
Rena terlihat sangat sibuk dari siang hingga sore ini, ia membantu tante Ima dan mamanya memasak. Malam tahun baru kali ini akan mereka rayakan di rumah saja dengan makan malam menu spesial.
Malam
tiba, mereka sudah mengelilingi meja makan. Tante Ema, Om Nelwan, Mama, dan
Rena. Wira masih absen, kata tante Ima dia akan segera datang dengan temannya.
“Pacarnya
ya Tante?”, tanya Rena menyelidik
“Hehe,
mungkin saja”, jawab Tante Ima tertawa
Beberapa
saat kemudian terdengar pintu depan dibuka, Wira masuk diikuti oleh seseorang.
Seorang teman, bukan perempuan, bukan pacarnya. Meskipun bertahun-tahun tidak
melihat orang ini. Rena tidak pernah lupa senyumnya. Rena hampir saja ternganga
jika ia tidak segera menyadarkan dirinya dan pura-pura biasa.
“Hallo,
Om, Tante”, sapa cowok ini, Rey.
***
Duarrr duuuaaarrr
Di
kejauhan kembang api mulai bermekaran di langit. Bunyinya bergema dari setiap
penjuru kota. Meski pun udara di teras rumah tante Ima saat itu sangat dingin,
Rena merasa hangat. Setelah makan dan berbasa-basi sejenak, Rey mengajak Rena
ke teras.
“Dunia
memang sangat sempit, aku tidak tahu kalau kalian saling kenal”, itu kata Wira
di meja makan saat mengetahui Rena dan Rey berteman.
“Bagaimana
kabarmu?”, Rena membuka pembicaraan
“Aku
baik, kamu?” standar sekali. Rey masih cuek seperti dulu pikir Rena
“Aku
juga, aku sekarang kerja di sini, di Samarinda”
Rey
kaget, “Yang benar? Sudah berapa lama”
“Sudah
3 bulan terakhir, kenapa?”, Rena heran mengapa Rey kaget
“Ah,
tidak. Tidak menyangka saja, gadis metropolitan seperti kamu bersedia kerja di
Kalimantan”, kata Rey sambil tersenyum
Rena
menetralisir hatinya setelah melihat senyum Rey
Rey
tersenyum, Rena masih seperti dulu, “Aku kerja di Balikpapan, satu kantor
dengan Wira. Aku belum nikah”
Sangat
kentara Rena menarik napas lega sebelum dia kemudian sadar lagi dengan tingkah
bodohnya. Eh, tapi belum menikah bukan berarti tidak punya calon istri kan?
Aaah, Rena mengerang kecil.
“Kenapa
Ren? Sakit?”, Rey khawatir
Rena
suka melihat wajah khawatir Rey, rasanya dejavu,
saat mereka bersama-sama dulu, “Tidak apa-apa Rey”, senyumnya
Rena
merasa ini adalah waktu yang tepat untuk minta maaf atas sikap kekanakan dan kelabilannya
dulu. Apa pun yang terjadi dulu adalah masa lalu. Dan bagaimana pun status Rey
sekarang, Rena hanya ingin berteman, menjalin hubungan baik dengan Rey lagi.
“Rey,
aku minta maaf tentang dulu”
“Tentang
apa Ren?”, Rey mengernyit bingung
“Di
akhir-akhir kuliah aku menghindarimu, itu sengaja. Bukan karena kesibukan
skripsiku”
“Ohh,
boleh aku tahu alasannya?”
Rena
terdiam. Ini rahasia masa lalu. Jika ia menginginkan hubungan baik, maka mau
tak mau ini harus diungkapkan. Lalu, keluarlah kata-kata dan perasaan yang ia
rasakan dulu ketika ia mengetahui bahwa Rey telah bertunangan. Rena mampu
menahan air matanya, ini mukjizat. Karena bagaimanapun rasanya perasaan itu
masih ada. Setiap ia berpikir untuk mengatakan ini pada Rey, ia pikir ia pasti
tidak akan sanggup untuk tidak menangis.
“Rena?”
panggil Rey lirih setelah jeda cukup lama
“Rena
sejujurnya aku mencintaimu sejak dulu”, mata Rey menatap mata Rena
“Tapi
kabar yang kau dengar, itu benar, itu yang membuatku tidak bisa mengatakan
perasaanku padamu atau menanyakan perasaanmu padaku. Aku terikat janji dengan
seseorang. Aku begitu bodoh membiarkan peraaanku padamu semakin dan membiarkan
diriku nyaman selalu bersamamu dulu. Aku tak bisa mengambil sikap. Maafkan aku
Ren”
“…”
“Ketika
aku balik ke Banjarmasin, ternyata gadis yang telah menjadi tunanganku itu pun
jatuh cinta dengan orang lain. Ia dan orang tuanya meminta pertunangan kami
diputuskan. Aku bersedia”
“…”
“Aku
mencarimu Ren setelah itu tapi tak ada kabar. Aku loss contact dengan teman-teman semasa kuliah. Otomatis jembatan
menemukanmu juga terputus. Tapi tidak tahu mengapa, selama ini aku yakin aku
akan menemukanmu kembali”
“Kamu
tahu aku juga mencintaimu?”, Rena yang baru pulih dari shocknya baru bisa bicara
“Rena,
aku tahu kamu. Aku kenal kamu dengan baik. Aku bisa membacamu. Aku tahu kamu
mencintaiku dulu, dan sepertinya sekarang pun masih”, tembak Rey
Rena
tersenyum dan ini membuat merah pipinya.
“Eitts, tapi tunggu dulu aku sudah punya
calon suami”, kata Rena mengejutkan
Wajah
Rey langsung berubah 180 derajat, ia pun memperbaiki posisi duduknya.
“Benar
Ren?”
“Iya”,
jawab Rena santai, “Sekarang aku akan mengenalkannya dengan mamaku”, ia menarik
tangan Rey.
Rey
lega, ia menurut diajak Rena masuk. Akhirnya,
aku menemukanmu kembali Ren.
0 komentar:
Post a Comment
Say something nice, for a change.