Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Traveling ke Gua Hantanung dan Sungai Maranting

Posting Komentar
Gunung Batu Hantanung
Hari ini aku diajak suami ke Desa Gunung Batu. Sebenarnya suami ada agenda di sana dengan anak-anak pramuka binaaannya yaitu pelantikan pramuka penegak tingkat Bantara dan Laksana. Karena waktunya hari Minggu, otomatis aku bisa ikut sekalian memuaskan jiwa travelerku. Hehe.

Desa Gunung Batu secara administratif terletak di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan. Spedometer Ride menunjukkan jaraknya sekitar 27 km dari rumahku yang terletak di Desa Labunganak, Kecamatan Batang Alai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Jalur menuju desa ini tidak sulit. Setelah perbatasan kabupaten di Desa Limpasu, terdapat pertigaan. Di sana kami belok kanan dan secara berturut-turut melewati Desa Tariwin, Gunung Manau, dan Sungai Kusi. 

Oya, di Desa Gunung Manau terdapat pertigaan yang salah satu jalannya menuju Balai Benih Ikan (BBI) Gunung Manau, semacam Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) di Mandiangin. Jalan menuju Desa Gunung Batu lurus saja hingga tiba di pertigaan Desa Bihara, kami belok kanan. Desa ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Awayan. Tak terlalu jauh kemudian, kami sampai di perbatasan kecamatan memasuki Kecamatan Tebing Tinggi. Berturut-turut setelah itu kami melewati Desa Juuh, Desa Sungsum (Canting Langit), dan Desa Gunung Batu.

Sesuai dengan namanya, jalan di Kecamatan Tebing Tinggi ini menanjak dan berkelok-kelok. Tidak ada pagar pembatas antara tepi jalan dengan jurang di salah satu bahu jalan. Di sisi jalan yang lain, kebun karet warga menjadi pemandangan. Banyak lubang di badan jalan membuat pengendara harus waspada agar tidak jatuh dari kendaraan karena lubangnya banyak yang besar dan dalam. Selain itu juga harus berhati-hati untuk menjaga jarak aman dengan pengendara yang berpapasan dari arah yang berlawanan karena jalan cukup sempit. Hanya ada sedikit rumah yang terdapat di sepanjang jalan yang kami lalui.

Di Desa Sungsum terdapat pertigaan yang bercabang ke kanan menuju Desa Auh. Aku tidak tahu persis berapa jarak yang diperlukan dari pertigaan tersebut untuk sampai ke Desa Auh. Tapi yang jelasnya jaraknya jauh sekali, bahkan konon nama Desa Auh berasal dari kata "jauh". Desa Auh memang berada sangat jauh sekali di atas pegunungan dan kalau tidak salah, Auh adalah desa terakhir sebelum jalan pegunungan tak dapat lagi dilewati kendaraan. Aku pernah ke sana saat SD dan SMP, sekitar 2-3 kali untuk mengunjungi keluarga jauh pada acara maulid nabi.

Di Desa Gunung Batu, kami mampir di sebuah gua dalam bukit batu (karst). Gua inilah yang menjadi ikon pariwisata di sana, dikenal dengan nama Gua Canting Langit atau Gua Gunung Batu Hantanung (menurut referensi yang kubaca di internet). Sayang sekali kompleks wisatanya sudah tidak dikelola lagi. Ini terlihat dari bangunan pos penjaga wisata dan toiletnya yang tidak terurus. Entah apa sebabnya, meski lokasi wisatanya tetap ada dan mungkin masih banyak yang berkunjung ke sana. Bukit batu yang menjadi badan gua tersebut merupakan batuan kapur (karst) yang biasa digunakan  untuk membangun pondasi rumah. Terletak di sebelah dua sekolah (SDN Gunung Batu dan SMPN 2 Awayan) yang terdapat di desa tersebut, bukit batu tersebut menjadi latar utama desa ini. Ini pulalah yang mungkin mendasari nama desa ini, Desa Gunung Batu.


Eks-pos penjaga yang sudah bobrok

Ada dua jalan untuk memasuki gua ini, dari “pintu" depan atau dari "pintu" belakang. Meski dari dua pintu tersebut, sepertinya terowongan dalam gua saling terhubung satu sama lain. Pintu depan terletak di tepi jalan namun akses kesana agak susah karena terhalang sungai kecil. Sedangkan pintu belakang gua lebih mudah aksesnya meskipun lebih jauh untuk mencapainya. Di gua bagian belakang inilah wisatawan lebih banyak berkunjung.

Lantai jembatannya berlubang-lubang
Begitu pula yang kami lakukan. Setelah parkir di dekat bangunan eks-pos penjaga yang terdapat di tengah-tengah kebun karet, kami berjalan kaki melewati jembatan gantung. Jembatan gantung tersebut melintasi sebuah sungai kecil jernih yang berbatu di bawahnya. Tidak jauh berbeda dengan bekas pos penjaga, jembatan gantungnya pun tidak dalam kondisi bagus lagi. Harus berhat-hati saat berjalan di atasnya. Pintu belakang gua terletak tidak jauh setelah kami menyeberangi jembatan gantung tersebut. 

Anak-anak langsung selfie setelah sampai di mulut gua. Aku dan suami masuk ke dalam gua. Gelap dan dingin, itulah yang dapat menggambarkan suasana di sana. Ada beberapa lorong yang dapat dimasuki dan salah satu lorongnya mengarah ke pintu depan gua. Entah yang mana, karena kami hanya berkeliling di mulut terowongan. Terlalu gelap untuk masuk kesana. Lagipula di beberapa bagian, langit-langit gua semakin rendah sehingga kami harus berjalan membungkuk.

Stalaktit yang besar berjuntai kokoh di salah satu “ruangan” gua. Ini pasti terjadi setelah proses beratus tahun lamanya. Btw, sepertinya disana pernah ada yang berkemah atau sekadar mampir karena ada bekas api unggun di salah satu lantai gua. Aroma khas kelelawar memenuhi indera penciuman kami, semakin masuk ke dalam kepak sayap bintang malam tersebut semakin jelas terdengar. Meski saat itu adalah waktu istirahatnya, mungkin ia terbangun demi mendengar ocehan kami yang mengunjungi gua.




Setelah cukup puas menikmati pemandangan gua dan berfoto-foto di sana. Kami kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan utama. Sekitar 1,4 km dari gua, sampailah kami ke tempat yang dimaksud. Tempat tersebut adalah sebuah tepi sungai berbatu dan beraliran deras. Menurut sumber yang kubaca, nama sungai ini adalah Sungai Maranting. Di bagian tepi sungai yang kami singgahi terdapat beberapa pohon rindang, sehingga sangat cocok dijadikan sebagai tempat piknik. Gunung Hantanung yang guanya tadi kami masuki terlihat dengan jelas dari sini. Puncaknya yang tidak terlalu tinggi terlihat gagah, seakan menantang minta didaki.


Welcome in Maranting river!


Gunung Hantanung menjadi background 'piknik' kami

Setelah parkir, sesi memasak menggunakan tungku dan peralatan sederhana pun dimulai. Menunya hanya nasi, mie instan, dan telur ayam yang digoreng dadar. Sekitar jam 11 lewat, makanan sudah siap semua. Sesi makan siang pun dimulai dengan peralatan dan menu seadanya. Sebagian anak yang lupa membawa piring, menggunakan daun pisang sebagai alas makan. Meski begitu kami semua lahap sekali makannya karena faktor lapar dan suasana alam yang damai sekali. Teringat dengan sarapan kami di Loksado, suasananya mirip seperti itu. Hanya ada gemericik air dan makanan yang tersaji di depan mata.


Memasak di tepi Sungai Maranting

Selamat makan siang!

Setelah berberes makan siang, suami dan anak-anak mulai bersiap untuk melakukan upacara pelantikan. Upacara pelantikan dilakukan di atas sungai. Jadi semuanya harus terjun ke sungai, bahkan aku sebagai fotographer. Haha. Tidak hanya terjun, tapi kami juga harus menyeberangi sungai. Bagian sungai di seberang kami lebih landai dan dasar sungainya rata sehingga lebih memungkinkan untuk melaksanakan upacara. Meski tidak dalam, menyeberangi sungai ini tidaklah mudah. Arusnya yang deras membutuhkan tenaga yang kuat untuk bertahan agar tidak ikut hanyut ke hilir. Aku saja perlu berpegangan pada tangan suami yang lebih kokoh agar sampai dengan selamat ke seberang.


Menyeberangi Sungai Maranting

Suasana sebelum pelantikan
Upacara pelantikan pun dimulai. Tiga bendera (bendera merah putih, bendera pramuka Indonesia, bendera lambang boy scout internasional) pelengkap upacara pelantikan pun berkibar dengan gagahnya. Pengucapan janji pramuka dan amanat dari pembina berjalan dengan khidmat. Upacara diakhiri dengan tepuk pramuka dan bubar barisan. Setelah itu sesi foto-foto semua anggota. Aku yakin, pengalaman ini sangat sulit dilupakan oleh mereka saat mereka mulai menjalani kehidupan dewasa nanti. Seperti aku yang mungkin tak akan pernah lupa saat menjadi anggota pramuka dulu. Setiap kegiatan dan perkemahan punya kenangannya masing-masing. Adalah momen langka jika sekarang aku masih bisa bertemu dengan teman-teman dan kakak-kakak pembina pramukaku dulu.


Sambil nunggu mereka siap difoto, fotografernya selfie dulu lah ya


Tebak aku yang mana?

Acara terakhir adalah berenang bebas. Yup, anak-anak yang mulai merasa nyaman berada di sungai mulai mencemplungkan badan mereka di dalam air dengan pakaian pramuka lengkap. Putra-putri kegirangan dapat bebas mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan berbasah-basah ria. Saat itu azan zuhur bergema jadi boleh dikatakan cuaca sedang panas-panasnya, namun itu tak menghentikan kegiatan mereka bermain air. Setelah puas, mereka pun naik dari sungai dan mulai menjemur pakaian yang basah. Sebagian yang tak membawa pakaian ganti, membiarkan pakaiannya kering di badan. Sambil menunggu pakaian tersebut kering, kami duduk-duduk sambil ngobrol bebas di bawah pohon rindang yang sejuk berangin. Saat seperti ini rasanya free sekali. Bebas dari tekanan pekerjaan dan kehidupan.

Setelah dirasa cukup, jam 2 siang kami mulai balik kembali ke rumah masing-masing. Naas, di tengah perjalanan ada salah satu anak pramuka yang jatuh dari motor. Bukan di jalan berkelok dan mengerikan seperti yang kami khawatirkan, tapi di jalan lurus dan lebar di Desa Tariwin. Tidak ada motor atau mobil lain yang menabrak dia. Hanya dia yang memang entah ngantuk atau sedang melamun sehingga motornya menyerepet ke sisi jalan. Beruntung tak ada yang dirugikan selain dirinya, teman yang dibonceng, dan kerusakan kecil pada sepeda motornya.

Ia dan temannya pun kami antar ke tukang urut. Motornya diperbaiki sendiri oleh anak-anak cowok karena tak ada bengkel yang buka di sekitar sana. Setidaknya kecelakaan tersebut sudah dapat diatasi. Selain kecelakaan tersebut, traveling hari ini menyenangkan sekali. Rasanya rela badan capek asal hati senang, sehingga siap kembali beraktiviats di Senin ceria besok hari.


Salam Pramuka!
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar