Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Loksado: Petualangan 32 Jam (I)

Posting Komentar
Petualangan dimulai jam 8 pagi hari Kamis, tanggal 5 Mei 2016. Setelah berangkat dari rumah, sekitar 5 km di jalan kami baru ingat kalau jas hujan dan tali untuk mengikat barang ketinggalan. Oh adalah kesalahan besar jika bepergian ke alam terbuka seperti ini meninggalkan jas hujan. Mau balik ngambil kepepet sekali karena kami sudah ditunggu anak-anak.

Sampai di sekolah semua personel sudah berkumpul. Setelah mengatur segala macam perbekalan kami langsung berangkat. Ada 7 sepeda motor dalam kelompok traveling kami, masing-masing dengan dua penumpang kecuali 1 motor yang sendiri. Dari Birayang kami berbelok ke Desa Paya, masuk ke Batali kemudian belok lagi berturut-turut ke Desa Pantai Batung, Taal, Mangunang, Haruyan, Mu’ui, terus menanjak ke daerah wisata Loklaga. Istirahat sebentar di sana kemudian kami melanjutkan perjalanan di jalan yang mulai menyempit dan berkelok naik turun tapi masih mulus melewati Desa Sungai Harang, Desa Batu Panggung, lalu masuk ke Desa Kindingan. Sejak Desa Kindingan jalan mulai berlubang-lubang tapi masih beraspal.


Perbatasan HST dan HSS

Karena sama-sama belum pernah ke arah sana, hanya mengandalkan petunjuk dari seorang teman suami kami tiba-tiba dikejutkan oleh putusnya jalan beraspal. Aku sendiri hanya pernah sampai di Desa Batu Panggung saat pengambilan sampel. Beruntung di perbatasan jalan beraspal dan jalan tanpa aspal plus becek tersebut ada orang yang bisa kami tanyai. Katanya sih panjang jalan tanpa aspal ini sekamir 1,5 km dan bisa kok dilewati dengan catatan penumpang harus jalan kaki. Di ujung jalan ini kami akan langsung sampai ke Loksado kata orang tersebut. Wah dekat sekali ya ke Loksado lewat jalan pintas ini, pikir kami.

Belum tahu saja kengerian yang menyambut kami di jalan pintas tanpa aspal ini. Sebenarnya kami sudah berasa ngeri awalnya karena ada bapak-bapak yang mengangkut kayu dan terjatuh di depan mata kami karena tanjakan jalan tanah liat yang becek. Oh ya kemungkinan area jalanan beraspal ini adalah milik Kabupaten Hulu Sungai Selatan karena terdapat gapura perbatasan ke arah Desa Kindingan dan secara administratif masuk ke dalam Kec. Hantakan Kab. Hulu Sungai Tengah. Wah, padahal dari sana kayaknya lebih dekat ke Kec. Haruyan. Lagipula desa sebelumnya yang kami lewati yaitu Desa Batu Panggung termasuk ke dalam Kec. Haruyan.


Welcome, jalan tanpa aspal!

Kembali ke petualangan kami, di jalanan tak beraspal inilah ternyata petualangan kami baru benar-benar dimulai. Dengan ransel dan barang bawaan masing-masing personel yang tak bisa dibilang ringan, kami pun menembus jalanan becek ini. Kami yang cewek-cewek jalan kaki sambil mengangkut barang yang bisa kami jinjing. Wahh, ternyata jalanannya tak bisa dianggap enteng meskipun jaraknya hanya sekitar 1 km lebih namun inilah medan terberat dari perjalanan yang harus kami lalui. Jalanannya menurun, beberapa sangat curam dan tentu saja licin dan becek. Motor kami yang hampir semuanya matic kebanyakan tersangkut di dalam lubang alur sepeda motor yang sebelumnya lewat. Para cowok saling membantu untuk mengeluarkan motor-motor yang terjebak.


Kakiku pun ikut terjebak di jalanan berlumpur 

Setelah mulai sedikit bosan berjibaku dengan licinnya jalanan, kami dihadapkan dengan jalanan aspal melintang di depan kami. Yeaay, kami bersorak kegirangan. Apalagi suamiku yang mulai mengenali daerah dimana kami “muncul”. Ini sudah dekat sekali dengan lokasi wisata Loksado yang akan kami tuju katanya, setelah kuhitung menggunakan spedometer ternyata hanya sekitar 7 km dari muara jalan pintas tersebut ke pintu gerbang lokasi wisata loksado. Wah, ternyata jalan pintas kami sangat efektif memperpendek jarak. Boleh kukatakan bahwa ternyata Loksado terletak di belakang Kota Barabai, tepatnya di belakang pegunungan Barabai daerah Hantakan. Well tapi memang secara umum pegunungan di Kalimantan Selatan itu bersatu dalam jejeran pegunungan Meratus.

Sebelum menuju Loksado. Kami terlebih dahulu menuju objek wisata Taman Pemandian Air Panas Tanuhi. Hanya melihat-lihat tidak sampai masuk ke dalam karena memang itinerary kami tidak kesana, karena kalau kesana minim tantangan. Haha, sombong betul yak. Btw, aku sendiri memang sudah pernah ke sana saat napak tilas tahun 2010 lalu. Kolam air panasnya memang mantap untuk merelaksasi tubuh yang capek. Dari Tanuhi kami bertolak menuju Loksado. Di perjalanan kami melewati area buper pramuka HSS yang sedang ramai karena sedang ada perkemahan yang dilaksanakan oleh DKC setempat.

Sampai di lokasi, kami tidak serta merta mampir di keramaian para turis yang berwisata yaitu dimana biasanya bamboo rafting dimulai. Ya, di Sungai Amandit bagian hulu Loksado. Oya, disana aku melihat spanduk tentang acara Loksado Festival tanggal 7-8 Mei. Oh tidak beruntungnya aku, kami kesini tanggal 5-6 Mei tepat sebelum acara tersebut berlangsung. Tapi tidak mengapa karena pengalaman yang kudapatkan saat traveling kemarin pun sungguh keren meski tanpa ikut festival.

Kami kemudian menuju Desa Malaris/Loklahung untuk survey lokasi perkemahan. Disini kami melewati Balai Adat Malaris yang sangat besar. Sayang tempatnya tidak dihuni lagi sekarang. Tahun 2008 ketika suamiku kesana katanya balai adat tersebut masih dihuni oleh keluarga besar Suku Dayak. Mungkin kalau aku tidak salah hitung bisa sampai 50 KK disana bisa tinggal, dilihat dari jumlah kamarnya sih. Saat ini mungkin balai adat tersebut hanya digunakan untuk upacara adat Suku Dayak setempat. Hal ini dapat terlihat dari ornamen di tengah-tengah ruangan yang sepertinya adalah padi kering sisa upacara untuk mensyukuri hasil panen padi mereka.


Balai informasi Malaris

Sampai di depan balai informasi desa kami berhenti dan bertanya apakah diizinkan untuk berkemah di lokasi yang sebelumnya pernah digunakan oleh suamiku dan teman-temannya dulu. Pihak desa mengizinkan namun suami dan dua cowok lainnya survey terlebih dahulu ke lokasi. Balik survey mereka mengatakan bisa saja kami berkemah disana. Namun suamiku bilang padaku kalau suasana disana sepertinya kurang nyaman, seperti ada atmosfir makhluk halus. Well, disana hal-hal seperti itu memang lumrah dijumpai. Lagipula katanya saat survey kesana tadi ada ular besar yang menghadang perjalanan mereka, beruntung ada yang melihat dan mereka berhasil menghindar sehingga tidak terinjak ular tersebut.

Apakah kami jadi menginap di tempat angker tersebut? Kemanakah destinasi kami selanjutnya untuk meneruskan petualangan selama 32 jam ini? Baca cerita selanjutnya di Loksado: Petualangan 32 Jam (II).
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar