Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Tertampar

Posting Komentar
Hari ini aku merasa tertampar ketika seorang siswa berjalan mendekat kepadaku di tengah-tengah pelajaran sedang berlangsung di kelas.

Dia berkata, "Ustadzah, ustadzah, abah ulun kada suah sembahyang*"

Jlebb. Itu jlebb banget nak, kena di hatiku. Bagaimana tidak, aku pun seringkali galau melihat orang-orang dekat yang tidak shalat. Menyuruh mereka shalat kadang tak enak, karena sudah pasti mereka pun tahu kewajiban shalat. Tidak diingatkan, aku sendiri jadinya resah. Jalan terbaik biasanya nama mereka kumasukkan di urutan teratas dalam doaku agar diberi hidayah untuk ringan mengerjakan shalat 5 waktu. Bukankah lebih nikmat rasanya ketika shalat didasari oleh kesadaran kita sendiri, bukan karena disuruh orang lain?

Bagaimana dengan "pengaduan" si anak tadi? Kukatakan saja padanya supaya dia berbicara pada ayahnya agar mau mengerjakan shalat. Eh, si anak malah menyahut "Sudah ustadzah, tapi waktu aku ke toko ternyata Ayah tetap tidak shalat". Ya, keluarganya memang punya sebuah toko. Rasa jlebb di hatiku semakin bertambah. Ya sudah kataku dengan mencoba bijak dan berbagi tips untuk mengatasi masalah tersebut, "Kamu doakan saja setiap selesai shalat agar ayah segera sadar ya". Dia pun mengangguk. Saat dia kembali ke tempatnya lah aku merasa bekas tamparan itu masih ada, hingga sekarang.

honeyizza.wordpress.com

Aku tertampar dengan kenyataan bahwa ada sebagian orang tua yang ingin anaknya saleh namun dia sendiri tidak mencontohkan hal saleh ketika berada di rumah. Sekolah tempatku mengajar boleh dibilang sebagai sekolah unggulan di kabupaten karena memadukan ilmu pengetahuan dan agama secara seimbang. Orang tua rela membayar lebih daripada sekolah di tempat lain agar anaknya mendapatkan pengetahuan umum dan agama yang bagus. Namun melihat faktanya aku jadi ragu dengan tujuan tersebut, mungkin saja ada tujuan lain. Misalnya karena orang tua memang tidak bisa mengajari ilmu-ilmu tersebut di rumah atau karena mereka ingin sekolah sekaligus sebagai tempat penitipan anak karena mereka pun bekerja seharian. Ya, rata-rata orang tua dari siswaku adalah pekerja di luar rumah.

Sebaik-baiknya sebuah sistem di sekolah berjalan jika tidak didukung oleh peran orang tua maka hasilnya tidak akan maksimal. Ketika si anak kembali ke rumah ternyata konsep kehidupan di rumah bertentangan dengan yang ada di sekolah, anak akhirnya akan kebingungan dengan adanya standar ganda yang ia lihat. Hasilnya anak mungkin akan lebih menerapkan sistem di rumah karena lebih longgar dan itu adalah sifat alami manusia yaitu ingin menghindari hal yang lebih berat. Perlu diketahui bahwa siswa yang berbicara denganku tersebut bukanlah siswa yang termasuk the best di antara teman-temannya, bahkan termasuk dalam kategori "sangat aktif". But see, dia memikirkan hal tersebut dan akhirnya memilih untuk mengungkapkannya padaku. Dia bingung, itu saja.

(Semoga engkau dapat menjadi jalan hidayah bagi orang tuamu)

*Ayah saya tidak pernah shalat
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar