Menikmati Proses. Meladeni Obsesi. Mengakrabi Tuhan.

Keindahan Tiada Batas di Bukit Batas

Posting Komentar
Hari Minggu, tanggal 1 Maret 2015 aku bersama dengan pengurus dan anggota Forum Lingkar Pena Banjarbaru trekking satu hari ke Bukit Batas. Ada acara penyerahan piala untuk pemenang lomba yang kami adakan beberapa waktu sebelumnya. Selain itu juga dalam rangka rihlah karena boleh dibilang selama ini kegiatan FLP hanya pertemuan, menulis, ngobrol tentang penulis saja.

Dengan dua taksi carteran kami berangkat dari Banjarbaru menuju Desa Aranio. Sekitar satu jam perjalanan, sampailah kami di Desa Aranio yang menjadi pintu gerbang menuju Bukit Batas. Waktu kami sampai di sana Desa Aranio sedang ramai dikunjungi wisatawan. Weekend memang waktu terbaik untuk melepaskan penat dengan rekreasi di tempat wisata. Suasana di pelabuhan tepi danau sangat ramai karena aktivitas para pelancong yang ingin benyeberang menuju Pulau Pinus. Selain wisatawan, juga ada terlihat beberapa warga sekitar yang akan memancing atau menjala ikan dengan menggunakan perahu. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang yang telah pulang dari Bukit Batas. Kebanyakan dari mereka adalah yang camping di atas sana sejak Jumat atau Sabtu dan turun gunung pada hari Minggu.
Pelabuhan Aranio

Perahu di atas danau

Danau yang memisahkan daratan Desa Aranio dan Pulau Pinus yang menyatu dengan daratan Bukit Batas, sebenarnya adalah waduk buatan sebagai sumber air bagi PLTA Kalsel. Namun karena keindahan yang terdapat di sekitar danau, maka seringkali orang-orang pun datang kesana untuk berwisata. Entah itu berwisata dengan keluarga di Pulau Pinus, memancing ikan di atas danau dengan perahu, atau menikmati keindahan danau dari Bukit Batas, titik tertinggi yang terdapat di pulau tersebut. Secara administratif, Bukit Batas termasuk ke dalam Desa Tiwingan Baru, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar.

Setelah proses tawar menawar harga sewa perahu menuju pulau pinus, kami pun berangkat dan naik ke kapal. Pemandangan di danau sangat indah. Danau ini dikelilingi oleh hutan-hutan lebat yang membuat bayangan air di danau menjadi hijau. Di kejauhan jejeran pegunungan menjadi latar belakang yang cantik bagi danau ini. Di satu tepian danau, terdapat bukit kecil yang rindang namun ditempati oleh manusia. Rumah-rumah warga tersusun rapat disana, bahkan dari kejauhan terlihat menara masjid. Amboi benar, ada pemukiman di tepi danau, di atas bukit, dan dikelilingi hutan.

Perkampungan di tepi danau

Lebih mencengangkan lagi bagiku yang belum pernah melihat, ada beberapa rumah yang dibangun di atas danau. Benar-benar rumah, bukan sekedar pondok. Otomatis alat transportasi warga disini hanyalah sampan atau perahu bermesin meski hanya untuk "berkunjung" ke rumah di sebelahnya. Mata pencaharian warga di sini sebagian besar adalah beternak ikan dengan keramba. Keramba adalah  tempat budi daya ikan yang terbuat dari bambu atau papan, yang diletakkan di badan air. Agar aktivitas beternak ikan mudah maka beberapa warga membuat rumah di dekat keramba yang miliki. Baik rumah sementara ataupun permanen yang ditempati bersama anggota keluarga lainnya.

Rumah di atas danau

Rumah dan keramba ikan

Sekitar 40 menit kemudian sampailah kami di Pulau Pinus yang merupakan daratan tempat kami harus turun dari perahu untuk melanjutkan perjalanan ke Bukit Batas. Seperti namanya, pulau yang tidak terlalu luas ini dipenuhi dengan tumbuhan pinus di seluruh permukaannya. Membuat pulau ini sangat rindang dan sejuk, sangat cocok sebagai tempat rekreasi keluarga. Di Pulau ini kami makan bekal bersama yang dibawa dari Banjarbaru. Setelah itu trekking menuju Bukit Batas resmi dimulai!

Foto bareng di Pulau Pinus

Untuk menuju Desa Tiwingan Baru yang merupakan kaki Bukit Batas, dari Pulau Pinus kami harus menyeberangi jembatan yang terbentang di antara keduanya. Di pos masuk -yang sebenarnya adalah rumah warga- area pendakian Bukit Batas kami berhenti untuk membayar retribusi sebesar 5000 rupiah per orang. Sekitar 1 km kemudian, kami masih melewati perkampungan dengan jalan setapak yang berlapis paving block. Di sebuah mushala, kami berhenti untuk shalat karena sudah masuk waktu zuhur.

Jembatan menuju Bukit Batas

Di depan "pos" masuk Bukit Batas

Perjalanan kemudian dilanjutkan. Rumah warga mulai berganti dengan pepohonan, jalan mulus kini mulai menanjak, dan benar-benar setapak tanpa paving block. Sepuluh menit, dua puluh menit, kami mulai ngos-ngosan. Namun tetap berjalan dengan kecepatan sedang. Ketika terdapat spanduk yang isi tulisannya berbunyi bahwa puncak Bukit Batas tinggal 1,5 km lagi, kami pun berhenti sejenak untuk beristirahat. 

Tenang saja, ada yang jualan kok ;)

Ketika perjalanan kembali dilanjutkan, tanjakan semakin sering hadir dengan kecuraman yang wow. Di sebuah titik ketika jalan mulai landai kami melihat sebuah pondok peristirahatan (atau pondok penginapan?). Pemandangan di sekitar pondok menunjukkan bahwa puncak bukit tidak jauh lagi, karena view danau mulai kelihatan meski masih terdapat beberapa pohon yang menghalangi pandangan untuk melihat ke bawah.


Jalan landai menuju puncak

Akhirnya sampai juga

Puncak pun akhirnya tiba di kaki kami. Subhanallah, itulah yang dapat kami desiskan setelah menatap hamparan bukit yang dipenuhi rumput. Nun jauh di bawah sana, terdapat gugusan pulau yang tersebar di permukaan danau. View inilah yang membuat banyak orang mengatakan bahwa Bukit Batas adalah Raja Ampatnya Kalsel. Mata dapat leluasa memandang sejauh apapun karena tak lagi terhalang rindangnya pepohonan. Gugusan awan, jejeran pegunungan, hamparan danau, dan pulau-pulau kecil di bawah sana adalah perpaduan yang sangat memukau untuk dinikmati dengan mata telanjang. Sungguh keindahan tanpa batas.


Keindahandari puncak Bukit Batas

Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Kami pun berlama-lama di sana untuk memanjakan mata. Setelah acara formal selesai, saatnya sesi foto-foto. Adalah hal wajib mengabadikan keindahan melalui lensa kamera. Spot paling banyak ditempati untuk berfoto adalah di tepi bukit, sehingga gugusan pulau di bawah sana terlihat apik menjadi latar foto diri. Padang rumput yang menghijau pun menjadi objek yang empuk untuk. Keindahan ala savana di luar negeri sana membentang di depan mata. Ada beberapa ternak berupa kambing dan sapi yang terlihat sedang merumput di salah satu sudut bukit. View yang menarik dan membuat otak kritisku bertanya. Lewat manakah ternak-ternak tersebut menuju puncak bukit? Apakah lewat jalur yang sama dengan yang baru saja kami lewati. Sepertinya tidak. Mungkin lewat bagian lain dari bukit ini.


Alhamdulillah

Peserta rombongan pendakian

Waktunya pulang, waktunya meninggalkan segala keindahan yang terdapat di atas sini. Semoga nanti bisa kembali lagi dalam momen yang lebih baik dan lebih lama, camping mungkin. Perjalanan turun bukit terasa lebih cepat namun dengan tenaga yang tak kalah besarnya dengan yang dikeluarkan saat mendaki tadi, karena turun bukit itu memerlukan keahlian. Kami harus hati-hati untuk tidak jatuh terguling dengan berpegangan ke pohon. Aku sendiri memungut kayu di perjalanan pulang untuk kujadikan tongkat saat gaya gravitasi terlalu besar dibanding kendali kaki.

Turun gunung
Rindang Yuliani
Hi, I'm Rindang Yuliani. I'm a writer, a civil servant, and living in Barabai, South Borneo. I love reading and I'm interested in travelling. My first book is Escape, Please!

Related Posts

Posting Komentar